KABARTERKINI.NEWS– Kementerian Hukum dan HAM RI menggelar Kumham Goes to Campus di Universitas Pattimura Ambon, Kamis (04/05/2023).
Agenda tersebut dihadiri langsung Dalam paparannya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI (Wamenkumham) Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum.
Wamenkumham dalam paparannya menjelaskan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan oleh pemerintah mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat. Baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.
Menurutnya, salah satu perbedaan mendasar KUHP baru dengan KUHP kolonial adalah pengedepanan norma restorative justice, di mana hukuman yang akan diberikan bagi setiap tindak pidana akan bertitik berat pada pemulihan keadilan, bukan semata pada penghukuman.
“Dengan KUHP baru, bisa merubah paradigma baru, merubah mindset berpikir masyarakat, merubah mindset berpikir aparat penegak hukum, sehingga memang sosialisasi ini menjadi sesuatu yang sangat urgent, sangat penting, tentunya kepada seluruh masyarakat,” terangnya.
Dikatakan bahwa, proses KUHP ini bukan sesuatu yang tiba-tiba, tetapi ini memakan waktu yang cukup panjang, sejak tahun 1958, diinisiasi oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang sekarang menjadi Badan Pemerintah hukum Nasional
“Tetapi kemudian baru jadi pada tahun 1953 dan akhirnya disahkan pada tanggal 6 Desember 2022, diundangkan pada tanggal 6 Januari 2023 dengan UU no 1 tahun 2023 supaya lebih mudah diingat.”
“Kalau kita menghitung dari inisiasi KUHP itu sendiri sejak tahun 1958 berarti usianya sudah 65 tahun,”ungkapnya menambahkan.
Wamenkumham menjelaskan, salah satu perbedaan mendasar KUHP Nasional dengan KUHP kolonial adalah pengedepanan norma restorative justice, di mana hukuman yang akan diberikan bagi setiap tindak pidana akan bertitik berat pada pemulihan keadilan, bukan semata pada penghukuman.
“Salah satu visi dari KUHP nasional adalah reintegrasi sosial, bahwa ada kesempatan bagi mereka yang melakukan tindak pidana, kemudian diperbaiki, agar tidak mengulangi perbuatan pidana di kemudian hari,” terangnya.
Wamenkumham jelaskan, terdapat Lima misi dari KUHP yang yakni;
Pertama adalah demokratisasi. Jadi tidak benar jika dikatakan bahwa KUHP nasional itu membungkam kebebasan berbicara.
“KUHP nasional itu memegang kebebasan dan ekspresif, kebebasan berpendapat, kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan, kebebasan berdemokrasi. Hak- hak itu diatur didalam kitab UU hukum pidana, sudah menuju kepada berbagai putusan mahkamah konstitusi ketika pasal-pasal dalam KUHP diajukan kepada mahkamah konstitusi,” tandasnya.
Kedua adalah dekolonisasi. Secara sederhana diterjemahkan sebagai upaya- upaya untuk menghilangkan bangsa kolonial didalam kitab UU hukum pidana nasional. Dekolonisasi ini menurutnya, terlihat jelas didalam buku 1 kita UU hukum pidana nasional antara lain, tidak lagi menitikberatkan pada kepastian hukum, tetapi juga pada keadilan dan kemanfaatan.
Ketiga, adalah konsolidasi, yaitu penyusunan kembali ketentuan pidana dari KUHP lama dan sebagian UU Pidana di luar KUHP secara menyeluruh dengan Rekodifikasi (terbuka-terbatas).
“Misi konsolidasi ini pada dasarnya adalah rekodifikasi itu tadi yaitu menghimpun kembali, berbagai kejahatan-kejahatan yang terdapat diluar KUHP, dimasukkan kedalam KUHP, namun ada beberapa kejahatan yang bersifat sebagai eksistensi atau keberadaan itu masih tetap berlaku karena KUHP hanya mengatur apa yang kita sebut sebagai kejahatan pokok sebagai pasal-pasal jembatan seperti korupsi, narkotika, pencucian uang, terorisme dan pelanggaran hak asasi manusia jadi itu merupakan misi yang kita sebut konsolidasi,”rincinya.
Misi yang keempat adalah harmonisasi. Sebagai bentuk adaptasi dan keselarasan dalam merespon perkembangan hukum terkini, tanpa mengesampingkan hukum yang hidup (Living law).
Kelima adalah modernisasi. Wamen mengakui, yang menjadi tugas berat bersama, karena waktu transisi selama 3 tahun, yang artinya meskipun telah disahkan dengan UU no 1 tahun 2023 pada tanggal 2 Januari, namun KUHP nasional ini baru berlaku pada 2 Januari 2026.
“Masa transisi selama 3 tahun ini ada 2 tugas berat yang harus kita lakukan bersama. Yang utama adalah melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kami ke kampus-kampus dalam acara di kampus-kampus juga dan mengundang berbagai stakeholder termasuk aparat penegak hukum.”
“Sosialisasi yang kedua nanti sesudah Juni, khusus ditujukan kepada aparat penegak hukum untuk menyamakan persepsi, menyamakan standar, menyamakan ukuran terhadap penerapan atau implementasi dari KUHP nasional,” tutupnya menambahkan.
Hadir sebagai Keynote speech adalah Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, SH., M.Hum . Sedangkan narasumber lain yaitu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, S.H.MA., Ph.D., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Dr Yenti Garnasih S.H.,M.H., dan Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM, Y Ambeg Paramarta, S.H.,M.Si.*** An