KABARTERKINI.NEWS – Gejolak sosial berujung rusuh kembali membara di Tanah Mutiara Hitam, Papua. Protes massa ditandai pengrusakan fasilitas umum, pengibaran bendera Bintang Kejora, hingga mencuat narasi “Papua Merdeka” tak terhindarkan. Kabarnya, insiden tersebut dipicu oleh tindakan rasisme terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Malang.
Semua pihak menyayangkan peristiwa tersebut. Tidak terkecuali Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Maluku sebagai lembaga pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan dan pembinaan keagamaan kepada masyarakat. Solusi pun direkomendasikan institusi berlabel “Ikhlas Beramal” ini, guna mengatasi konflik dengan nuansa SARA di tanah Papua.
Solusi pertama, Kepala Bagian Tata Usaha (Kabag TU) Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag Provinsi Maluku, Jamaludin Bugis mengatakan, dialog bersama pemerintah provinsi setempat untuk menemukan jalur alternatif penyelesaian konflik.
“Sebagai daerah yang pernah dilanda konflik, Maluku memiliki pengalaman untuk menyelesaikan kerusuhan 1999 saat itu. Pertama, jalur koordinasi pemerintah provinsi dengan beberapa elemen penting guna mencari cara bagaimana konflik bisa terselesaikan,” sebut Jamaludin dihadapan Kabag TU Kanwil Kemenag Provinsi Papua Barat, Abdul Hamid Rahanyamtel didampingi Kasubbag Hukum dan KUB Abraham Yumte dalam kunjungannya ke Kanwil Kemenag Maluku, Kamis (29/8).
Kunjungan diplomasi tersebut dalam rangka meminta kiat-kiat terkait solusi penyelesaian konflik. Mengingat Maluku adalah wilayah yang mempunyai pengalaman bangkit dari keterpurukan konflik, sehingga disebut-sebut sebagai laboratorium kerukunan umat beragama dan daerah paling rukun ketiga di Indonesia setelah Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selain jalur koordinasi bersama pemerintah daerah, solusi lain yang dapat dikantongi adalah soal penegakan hukum. Suplemasi hukum, menurut Jamaludin, harus ditegakkan dalam memberikan efek jera terhadap aktor-aktor pemicu konflik alias profokator.
Solusi berikutnya atau ketiga, lakukan dialog bersama dengan seluruh tokoh agama baik Islam maupun Kristen untuk merumuskan metode dakwah yang menyehatkan dan menanamkan nilai-nila penting dari sebuah kerukunan bangsa.
“Ini menjadi solusi kunci. Ambon kita tahu ada 5 agama besar didalamnya, terdiri dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Semua tokoh-tokoh agama ini kita kumpulkan, sama-sama menyatukan persepsi dan tekad, apapun namanya Maluku harus keluar dari jeratan konflik ini,” terang Jamaludin.
Terakhir, perkuat nilai-nilai kearifan lokal sebagai perekat perbedaan keyakinan suku, ras, agama, sosial, dan budaya. Hal ini, sambung Jamaludin, dibuktikan dengan adanya keterlibatan seluruh unsur agama yang berbeda dalam setiap even keagamaan berskala nasional, semisal MTQ, pesparawi dan Pesparani.
“Di Maluku kita punya kearifan lokal namanya pela gandong, potong di kuku rasa di daging, sagu salempeng di patah dua, ale rasa beta rasa, lawamena haulala, dan seterusnya. Ini yang melampui semua perbedaaan termasuk agama. Sehingga bukan perbedaan agama atau suku yang menyatukan kita, tapi nilai-nilai kearifan lokal tadi. Masuk masjid atau gereja kita berbeda, tapi keluar dari itu kita disatukan dalam hubungan pela gandong,” imbuh Jamaludin.
“Semoga informasi dan hal positif yang diterima tentang upaya memperkokoh nilai-nilai toleransi dan kerukunan anak bangsa di Kota Ambon bagi Kanwil Kemenag Papua Barat dalam menjalankan hal hang sama di daerah Papua,” tandasnya.
Sementara Kasubbag Hukum dan KUB Kanwil Kemenag Provinsi Papua Barat, Abraham Yamte saat dikonfirmasi menanggapi hasil pertemuan tersebut, bahwa dirinya dengan Kakanwil Kemenag setempat akan membicarakan solusi itu bersama Gubernur Papua Barat serta para tokoh-tokoh agama.
“Kembali dari sini, kami mau kembangkan itu karena akhir-akhir ini cukup memanas soal rasisme lalu ke politik. Sehingga kita mengambil langkah supaya isu ini tidak merembet kepersoalan agama. Kalau ini murni rasisme, ya rasisme, politik ya politik ya politik, jangan lagi ke agama,” katanya.
Yamte menambahkan, peristiwa Papua saat ini adalah murni rasisme dan bukan agama. Di daerah penghasil emas terbesar di Indonesia itu sendiri menurutnya memiliki satu semboyan, yatu: satu tungku tiga batu.
“Agama manapun itu mengajarkan yang baik, tidak ada agama mengajarkan tidak baik. Jadi persoalan ini jangan dibawa-bawa ke agama,” jelas pria kelahiran 1982 itu. ZAM-Inams