KABARTERKINI.NEWS – Pakar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. mengkritisi kebijakan “Beleid” hukum Menteri Perhubungan dalam bentuk Peraturan Menteri Perhubungan PM Nomor : 18 Tahun 2020 Tentang Pengendalian Transportasi Pencegahan Penyebaran Pandemik Virus Corona.
“Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 itu overlapping dan tidak mempunyai landasan dan pijakan konstitusional,” ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/4/2020).
Menurut Fahri Bachmid, Permenhub tersebut adalah produk perundang-undangan yang dibuat tidak berdasar pada mandat hukum dalam konteks kedaruratan kesehatan, karena tidak diperintahkan secara langsung oleh perundang-undangan diatasnya, seperti UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun PP RI No. 21 Tahun 2020 tentang PSBB terkait percepatan penaganan covid-19. Fahri Bachmid mengatakan, jika memang Menteri perhubungan ingin membuat produk regulasi yang demikian, idealnya mengakomodir serta wajib untuk sejalan dengan peraturan perundang-undangan horizontal – sektoral yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai “leading sector” dalam penanganan covid-19 dan penerapan PSBB ini.
“Jadi Menteri Perhubungan Ad Interim jangan membuat norma serta pranata baru yang sifatnya “contra legem” sehingga ini sangat berimplikasi secara mendasar pada visi penyelesaian penaganan covid-19 pada tingkat yang lebih teknis. Ada kebingungan “confusion” pada tingkat lapangan. Ini tidak boleh terjadi dalam situasi darurat pendemi seperti ini. Presiden sebagai kepala negara harus turun tangan untuk atasi kisruh kebijakan seperti ini dan kebijakan negara harus prudent,” tutur Fahri Bachmid.
Menurut Fahri, jika dilihat dari optik peraturan perundang-undangan, khususnya UU RI No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jelas Permenhub yang diteken Luhut Binsar Panjaitan tersebut tidak sejalan dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Bab III tentang Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan, khususnya pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 12/2011.
“Hal ini sesuai rumusan ketentuan pasal 8 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Peraturan perundan-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan” sebab “Leading Sector” dalam persoalan penanganan Covid-19,” adalah Kementerian Kesehatan,beserta atribut kewenangan yang sifatnya regulatif, untuk mengatur hal hal yang berkaitan dengan percepatan penanganan covid-19 ini, katanya.
Yang dimaksud Fahri tetang peraturan yang lebih tinggi dan mempunyai kekuatan hukum dalam pencegahan Covid-19, terutama dalam penerapan PSBB adalah Menteri Kesehatan. Penerapan PSBB, dijelaskan Fahri Bachmid adalah berdasar pada UU RI No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, serta PP No. 21 Tahun 2020. Dengan kewenangan itu Menteri Kesehatan mengeluarkan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka percepatan penaganan Covid-19.
Dengan PP No. 21 Tahun 2020, menurut Fahri Bachmid, Menteri Kesehatan diberikan kewenangan untuk mengatur pelaksanaan PSBB, sekaligus memberikan pedoman pelaksanaannya, termasuk pengaturan soal pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum, maupun pembatasan moda transportasi.
Jika dilihat orientasi dari Beleid Menteri Perhubungan ini, Fahri Bachmid, mamaparkan setidaknya secara garis besar ada tiga hal yang diatur dalam Permenhub No.18 Tahun 2020 tersebut.
Petama, Pengendalian Transportasi Untuk seluruh wilayah
Kedua : Pengendalian Transportasi pada wailayah yang ditetapkan sebagai PSBB
Ketiga, pengendalian Transportasi untuk kegiatan mudik tahun 2020.
“Dengan demikian sepanjang spirit pengaturan terkait PSBB maka mutlak adanya setiap Beleid atau kebijakan hukum yang akan dilakukan oleh badan atau kementerian sektoral lainya wajib berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Menteri Kesehatan, sehingga setiap “Regeling/peraturan” yang dibuat harus sejalan dengan paradigma keadaan kedaruratan kesehatan, bukan yang lain,” papar Fahri Bachmid.
Fahri Bachmid, menilai, dari segi teknis yuridis berdasarkan Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 ini, kelihatannya sedikit membajak kewenangan menteri kesehatan dalam rangka pengaturan PSBB. Tak sampai di situ, Fahri mengatakan Permenhub tersebut cenderung tidak responsif dan tidak mengakomodir spirit keadaan darurat terkait penyebaran Covid-19 yang sangat eskalatif dan massif menyebar ke 34 Provinsi di Indonesia.
“Covid-19 ini berdampak pada semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan dan keamanan serta kesejahteraan masyarakat,” sehingga segala kebijakan negara dan pemerintah hakikatnya wajib berdasar pada paradigma serta nuansa kedaruratan serta keadaan bahaya, jangan lagi membuat kebijakan yang konvensional serta normal, jelas Fahri Bachmid.*** RISKA