KABARTERKINI.NEWS– Pembentukan panitia khusus (Pansus) hak angket yang digalang DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) sedari awal sudah cacat dan tidak memiliki dasar atau derajat konstitusional. Tapi yang mengherankan, pansus hak angket sudah mulai memeriksa sejumlah saksi.
“Indikasi pelanggaran yang dijadikan dasar DPRD Sulawesi Selatan untuk mengeluarkan Hak Angket adalah lemah dan sumir,” kata pakar hukum tata negara Fahri Bachmid melalui keterangan tertulis, Rabu (17/7).
Menurutnya, hak angket memang merupakan kewenangan dewan bersama dengan hak interpelasi serta hak menyatakan pendapat. Tapi, sampai saat ini tidak ada perangkat hukum positif yang mengatur secara imperatif mengenai sejauh mana daya ikat produk hak angket itu kepada instansi penegak hukum untuk menindak lanjutinya. Tidak ada kewajiban konstitusional kepada penegak hukum untuk menindaklanjuti hal tersebut.
“Sehingga penggunaan instrumen angket dalam sistem ketatanegaraan adalah mubazir serta tidak efektif, sebab pranata hukum angket itu sendiri adalah suatu bentuk pengaturan yang belum tuntas kedudukannya serta pola relasi kerja dalam arti yang lebih teknis operasional,” tandas Fahri.
Mantan pengacara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf ini memberikan cantoh soal rekomendasi pansus hak angket DPR RI terkait dugaan korupsi skandal Bank Cantury. Diketahui, rekomendasi pansus sudah diserahkan kepada KPK, tapi sampai saat ini skandal yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 6,7 triliun belum tuntas.
“Pertanyaan yang kemudian hadir ialah bagaimana tindak lanjut dari hasil temuan tersebut? Pertanyaan ini juga terkait dengan “wibawa” dari sistem ketatanegaraan kita,” katanya.
Pembentukan pansus hak angket sebagai upaya DPRD menyikapi kinerja Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah (NA) selaku lembaga eksekutif daerah. Adapun hasil dari temuan pansus adalah terdapat lima indikasi pelanggaran yang dilakukan gubernur.
Pertama, terbitnya SK Wakil Gubernur melantik 193 pejabat di Pemprov Sulsel yang mengindikasikan dualisme kepemimpinan. Kedua, indikasi KKN dalam mutasi ASN karena Gubernur atau Wakil Gubernur membawa ASN dari Kabupaten Banteng dan Bone. Ketiga, indikasi KKN penempatan Pejabat eselon IV hingga eselon II. Keempat, Kepala Biro Pembangunan Jumras dan Kepala Inspektorat Lutfi Natsir. Dan kelima, penyerapan anggaran rendah.
Menurut Fahri, jika kelima potret indikasi pelanggaran itu dijadikan fokus penyelidikan dengan menggunakan instrumen hak angket, maka sesungguhnya hal itu adalah keliru dan sangat berlebihan jika dilihat dari optik hukum tata negara. Sebab, kelima hal itu hakikatnya adalah masalah yang berada pada lapangan hukum administrasi, yang seharusnya cukup disikapi dengan menggunakan instrumen hak interpelasi atau hak bertanya, dalam rangka melakukan upaya korektif terhadap pemerintah daerah.
“Artinya DPRD mempertanyakan kebijakan gubernur, dan itu lebih sejalan dengan apa yang diatur pada Pasal 322 UU MD3,” tukas Fahri.
Ditambahkannya, penggunaan hak interpelasi dipandang lebih sejalan dengan spirit serta bangunan yuridis sebagaimana diatur dalam UU MD3, karena secara teoritis sangat linear dengan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945.
“Penggunaan hak angket DPRD Sulawesi Selatan saat ini sangat sumir dan potensial eksesiv dan destruktif serta cenderung berlebihan,” tutup Fahri.*** rmol.id-Nusantara