Oleh : Abdullah Fatcey
Mahasiswa Teknik Universitas Iqra Buru.
KABARTERKINI.NEWS– MENJADI prolog pada kesempatan kali ini, saya akan sedikit menyinggung apa yang pernah disampaikan Alessandro Duranti guru besar antropolinguistik di Universitas Calvornia, mengungkapkan bahwa “bahasa tidak saja memantulkan dunia tapi bahasa juga membentuk dan menciptakan dunia”. Mungkin kurang relevan ungkap Alessandro dengan tema diatas, namun kiranya menarik kalimat itu jika diposisikan pada konteks politik. Ya, politk sejatinya memberi ruang kosong dimana wilayah argumentasi dihidupkan untuk menerawang hasil demokrasi. Pada prinsipnya demokrasi memberi pengertian tentang kebijaksanaan. Bagaimana tidak, setiap warga Negara mempunyai hak yang sama tanpa pandang bulu, strata, ras, suku, dan agama tertentu, semua mempunyai nilai yang sama dalam momentum pesta demokrasi.
Sebagai akaibat dari keterwakilan publik yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan hasrat kekuasaan yang begitu besar, mengakibatkan semakin sengit pertarungan merebut tempat letaknya setiap kebijakan diarahkan. Besar kemungkinan implikasi yang terjadi adalah rakyat bingung seolah-olah diperalat hak-hak politiknya bertepatan dengan momentum Pilkada, Pileg, Pilpres dan lain-lain. Democracy is government of the people, by the people, for the people hanyalah wacana menjaga keseimbangan dan keteraturan, dalam artian menghargai keberadaan rakyat. Dengan dasar itulah kebijakan diatas kertas yang begitu rasional dibuat, selanjutnya dialanggar dan diruncingkan tajam kebawah tumpul keatas.
Oleh karena kebiasaan buruk kelompok dan elit tertentu telah mendarah daging, pada setiap kesempatan melakukan semacam pengalihan isu. Setiap momentumnya pasti menghadirkan isu, setelah isu lama memudar, lahirlah isu baru dan begitu seterusnya, sampai rakyat dibuat bulan-bulanan para elit negeri ini. Rakyat mau dan tidaknya menjadi sajian siap santap oleh kelompok dan kalangan tertentu dalam pelaksanaan kerja pemerintahan. Olehnya itu, perlu seutuhnya direkonstruksi system kelembagaan yang tadinya disfungsi demi melahirkan system pada sentral pemerintahan yang bersih tanpa tekanan kekuasaan dan lebih memprioritaskan kelayakan berdasarkan criteria keilmuan
Misalnya saja baru-baru ini kabupaten buru digemparkan dengan keinginan membentuk satu daerah otonom dengan akan melepaskan kecamatan kaieli, lolongguba, batabual, dan waeapo untuk dijadikan satu kabupaten baru. Tim PANSUS telah dibentuk, sayangnya ketua PANSUS pemekaran satu kabupaten baru itu tidaklah lagi berada dalam deretan anggota DPRD kabupaten buru tahun ini. Apa yang akan terjadi selanjutnya?, bukankah PANSUS terbentuk dan di-anggran-kan?, apakah DPRD kali ini dapat menindak lanjuti rencana pemekaran satu kebupaten baru itu?,paling tidak ada pembahasan terkait pemekaran. kemanakah PANSUS yang telah dibentuk?,
Sebut saja jikalau rakyat marah secara bersamaan menyuarakan hak-hak mereka atas janji-janji politik tersebut atau lemah dalam melihat dinamika pemerintahan. Maka kemungkinan yang akan terjadi adalah pemekaran harus tetap terjadi atau sebaliknya, kejahatan terus berakar dalam tubuh pemerintahan. Hal ini harus menjadi ikhtiar masyarakat dalam merespon kondisi yang mengecam dengan menghadirkan fariabel pembeda, Solutif, aspiratif, dan independen. Sebab lembaga independen seperti DPR tak lagi dapat dipercaya, tidak salah ketua BEM UI merubah nama DPR menjadi “Dewan Penghianat Rakyat”.
Makna perwakilan dari Dewan Perwakilan Rakyat menyiratkan pelimpahan amanah atau titipan semata atas kekuasaan bersama. Jadi representative (DPR) hanya dipercayakan mewakili bukan berarti merasa sepenuhnya memiliki kekuasaan, sehingga semena-mena sesuatu dapat di undangkan tanpa melihat kondisi sosial secara kolektiv, singkatnya DPR hari ini tak lagi betul-betul pro rakyat. Jika makna Perwakilan saja tidak lagi seutuhnya menjalankan amanah demokrasi, apalagi kata Penghianat yang sekarang digauli (dikawin) pemerintah saat ini, dalam artian DPR teraliri (mengikuti) secara penuh kebijakan pemerintah.
Selebihnya sebagai bahan kontemplasi atas seluruh totalitas perjalanan perhelatan (pesta) segmentasi kekuasaan, baik dalam arti seolah-olah atau bahkan dalam arti sesungguhnya. Sebagimana seharusnya kita merespon hal semacam ini dengan jawaban solutif, tentunya terbangun dengan dasar pengkajian yang dalam dan mengarah kepada system tata arah konstruk politik yang kian mutakhir (modern). Untuk tujuan yang kurang lebih dimaknai sebagai kesempatan menciptakan kejahatan selagi berada dalam pusaran kekuasaan atau starting berkuasanya kelompok tertentu berupaya mengakhiri semuanya sesudah puas menikmati ekonomi dari luar kerja yang tidak semestinya.
Bagi pemerintahan kurang lebih berumur 19 sampai 20 tahun, tentunya mempunyai segudang pengalaman penting yang menjadi catatan kritis untuk tidak tercatat lagi pada tahun-tahun berikutnya. Pasalnya umur kabupaten telah mencapai usia produktif mendayagunakan pelimpahan alam dan mengutamakan perkembangan potensi manusianya. Adapun upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk menopang laju perkembangan zaman adalah dengan dibuatnya dua PERDA besar yang mengasah sekaligus menjadi perisai antibody dalam tubuh suatu daerah kabupaten buru, dengan tujuan agar masyarakat memahami segala bentuk tantangan zaman yakni tersentral pada pendidikan yang ditopang dengan penguatan nilai-nilai spiritual. Dua PERDA ini adalah Gelora & Gencar.
Namun yang menarik dan menjadi pusat bahasan kali ini adalah pergolakan perebutan kekuasaan. Di lain sisi percaturan perebutan kekuasaan dinilai sebagai bagian dari politik dinasti yang dilahirkan dari kekuasaan, dan disisi lain hal-hal demikian dipahami sebagai lobi akselerasi mendapatkan posisi strategis yang lebih menekan pada wilayah kualitas personal, dalam menyusun kerangka tujuan mendapatkan posisi itu. Sebut saja yang terjadi dalam tubuh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Buru (DPRD Kab. Buru), ada hal menarik disana yang dapat ditelaah dari sisi politik dan dinamika pemerintahan yang tampaknya saling bersebrangan.
Menarik dibahas, sebab tampaknya sebuah fenomena menciptakan hierarki kekuasaan telah tumbuh menjadi embrio baru memperkuat kepentingan politik kedepannya. Dengan lahirnya hierarki kekuasaan dalam pemerintahan, mengindikasikan barisan kecil kekuasaan juga telah permanen dibentuk pada wilayah-wilayah kemasyarakatan, untuk tujuan yang kurang lebih dapat dipahami sebagai bentuk mengokohkan posisi kekuasaan yang telah diraih. Sebagai konsekuensinya, kelompok dalam barisan kekuasan dari sebuah partai misalnya, pasti terbentuk pula hierarki keluarga kekuasaan.
Perang perebutan kekuasaan kali ini agak memanas dan ekstrim dirasakan dalam tubuh legislative di kabupaten Buru. Perebutan kekuasaan menarik perhatian publik, mengkarenakan pada partai yang sama-lah kekuasaan atau kursi kepemimpinan DPRD diperebuutkan. Sebut saja GOLKAR, sebagai partai politik yang dikenal sedap dengan dinamika partainya. Memusat perhatian berbagai kalangan dengan adanya pro kontra serta saling menjatuhkan antara sesama kader partai dalam memperebutkan posisi ketua partai wilayah kabupaten buru juga memperebutkan kursi pimpinan DPRD kabupaten buru. Perlakuan saling gesek- menggesek tersebut, diduga melibatkan kepala daerah dan ketua DPRD tahun 2014-2019. Kontak saraf yang demikian terasa ada baiknya, sebab dengan begitu ada dampak positif yang dialahirkan disana. Yakni, boleh jadi pasukan dalam gerbong ketua DPRD periode 2014-2019 tertransformasi menjadi oposisi dalam partai Golkar sekaligus oposisi untuk kekuasaan.
Jelas tentunya, baik bagi perkembangan daerah kabupaten buru jika lembaga independen semisal DPRD bersebrangan pikir dengan pemerintah. Baik dalam artian DPRD sebagai lembaga penguji dan evaluative kebijakan pemerintah. Demikian hal itu dipahami berbanding terbalik dengan yang terjadi di daerah kabupaten buru ini, pasalnya lembaga berdedikasi yang berdiri tegak diatas kakiNya sendiri, telah kemasukan angin dan menjadi relasi kuasa untuk menutup dan menyelamatkan kepentingan-kepentingan personal. Mencuat dipermukaan sebagai implikasi ketersinggungan orang-orang hebat itu adalah salain mengunci krang nafas karier politik pihak-pihak yang merasa tersingging dan terpinggirkan, juga dilengserkan dari kursi pengambil kebijakan.
Jelasnya, DPRD Kabupaten Buru mengalami keretakan dari sisi internal. Sarat kepentingan dalam tubuh legislative mengakibatkan keterlibatan pihak diluar DPRD turut mencampuri urusan-urusan kelembagaan, sampai pada urusan penetapan katua DPRD Kabupaten Buru. Demikian hal itu dapat saya sampaikan, sebab itulah yang terjadi, walaupun sulit dijelaskan perselisihan antar ketua DPRD tahun 2014-2019 dengan bupati buru yang sekarang masih menjabat. berhubung dinamika politik internal DPRD Kabupaten tidaklah seilmiah yang diharapkan. Besar kemungkinan, potensi saling mematikan karier politik politikus kabupaten buru berlangsung permanen sampai beberapa tahun mendatang.
Perkiraan demikian diperkuat atas drama politik kekuasaan DPRD Kabupaten Buru periode 2019-2024. Perebutan kekuasaan yang dimaksud adalah perebutan kursi pimpinan DPRD kabuapten buru. Berbeda dengan dinamika sebelumnya, DPRD Kabupaten Buru kali ini cukup mengalami hiruk pikuk sehingga dapat dikatakan DPRD mengalami transformasi bentuk independen menjadi pemuja kekuasaan (mendukung kesalahan kekuasaan) dan dijadikan sebagai senjata menentang demokrasi.***
Isi diluat tanggung jawab redaksi.