KABARTERKINI.NEWS– MEMPERTEGAS perjuangan pengakuan hak masyarakat adat di Maluku, Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) ajak semua pihak turut serta mengabil bagian di dalamnya.
Penegasan perjuangan itu menyusul Provinsi Maluku tidak masuk dalam peta blok Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal menerbitkan kebijakan untuk ‘membentengi’ hak masyarakat adat di negeri ini.
Hal ini tentu membuat PSKL provinsi Maluku harus ekstra keras dalam perjuangannya.
Melalui dialog publik yang dirangkai pemutaran film perdana Etnografi Nua Nea hari Senin, (7/10), PSKL Maluku seakan mengumpulkan kekuatan untuk mempertegas posisi sejumlah negeri adat dan kawasannya yang perlu dilindugi.
Kepala Seksi Tenurial dan Hutan Adat, PHH Balai PSKL, Lilian Komaling menegaskan, pihaknya akan terus memperjuangan hak-hak adat masyarakat di Maluku.
Bekal yang dikantongi PSKL Maluku saat ini ialah sejumlah data dan film etnograf perdana.
“Kami akan menyangakan video ini sebagai bentuk kampanye kita disetiap agenda rakor, baik tingkat daerah maupun pusat. Kota akan memutarkan film pendek ini disetiap kegiatan-kegiatan nasional,” tegas dia membuka agenda yang digelar di sebuah rumah kopi di kota Ambon.
Lilian menegaskan, semua stake holder, Pemda, Akademisi, LSM, media, itu bisa saling kolaborasi bekerjasama untuk mempercepat penetapan hutan adat sehingga masyarakat hukum adat memiliki ruang untuk terus bertahan.
Dalam giat tersebut, PSKL berhasil menghadirkan, sejumlah tokoh sosial, Akdemisi, para mahasiswa dan sejumlah anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Diksusi film etnografi Etnografi Nua Nea berlangsung apik lebih dari tiga jam lamanya.
Rudi Fofid, salah satu peserta dari kalangan wartawan menegaskan, persoalan Hak-Hak masyarakat adat serta adat itu sendiri bermasalah di tinggkat pusat. Bukan di Maluku.
Hanya saja, saat ini, Maluku butuh terobosan besar dengan kekuatan besar untuk memperjuangkannya. Jika tidak konsekunsinya adalah, Maluku akan kesulitan mendapatkan hak-hak masyarakat adat.
Apalagi dalam forum dialog tersebut, berkembang informasi hinggapa pada tingkat sejumlah perusahan telah mengeploitasi kawasan hutan milik masyarakat adat.
Diketahui, hingga saat ini, di Pulau Seram tepat di kawasan Nualu telah hilang 5 marga dari 9 marga.
Mereka telah kehilangan tanah adat karena dikuasai oleh perusahaan. Dengan upaya yang dilakukan PSKL dan pihak-pihak terkait, bisa membuka mata dan telinga para pembuat kebijakan, agar mengakui keberadaan serta hak-hak masyarakat adat.*** RUL
Tentang Masyarakat Adat Nua Nea
NEGERI Nua Nea merupakan sebuah negeri adat yang lahir berdasarkan asal usul leluhur secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas wilayah teritorial (petuanan/ulayat) dengan kekayaan alam yang berlimpah, serta kehidupan sosial yang diatur oleh norma-norma atau kaidah-kaidah adat yang tidak tertulis tetapi dihormati dan diakui oleh Masyarakat Adat Nua Nea sendiri.
Bila kita menelisik Negeri Nua Nea dari aspek historis, hal itu tidak terlepas dari kehidupan Komunitas Adat Suku Nuaulu di bagian selatan Pulau Seram yang salah satunya berada di Negeri Nua Nea sebagai pusat pemerintahan adat untuk orang-orang Nuaulu yang tersebar di beberapa kampung. Suku Nuaulu terdiri atas enam negeri yang secara administratif berada di lima kampung di bawah Negeri Sepa. Kelima kampung tersebut adalah Kampung Rohua, Bonara, Watane, Hahuwalan, dan Simalouw.
Negeri Nua Nea merupakan pusat pemerintahan adat untuk Suku Nuaulu. Untuk menelusuri sejarah, maka kita perlu menoleh ke belakang ketika awalnya semua bermula dari Nunusaku. Nunusaku adalah sebuah kerajaan pertama di Bumi Nusa Ina.
Suku Nuaulu telah sejak lama mendiami Pulau Seram, khususnya Seram Tengah di bagian selatan Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Suku Naulu merupakan penduduk asli Nusa Ina Pulau Seram. Pada awalnya, negeri-negeri atau desa-desa adat yang berada pada Pulau Seram maupun Maluku pada umumnya, berada pada satu kekuasaan kerajaan, yakni Kerajaan Nunusaku yang merupakan kerajaan pertama di Nusa Ina. Berbicara Suku Nuaulu sudah barang tentu tidak terlepas dari kekuasaan Kerajaan Nunusaku. Nunusaku dahulu berlokasi di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, yaitu di hulu Sungai/Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Suku ini merupakan Keturunan dari anak-cucu Raja Nunusaku yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku.
Ceritanya kira-kira seperti ini:
Alkisah, Kerajaan Nunusaku adalah kerajaan pertama atau tempat pertama di Bumi Nusa Ina Pulau Seram yang terdapat di Pedaman, Kabupaten Seram Bagian Barat, tepatnya di hulu Wae Tala, Eti, dan Sapalewa. Kerajaan ini di pimpin oleh seorang raja yang bernama Upu Aman Latu Nunusaku. Ia mempunyai dua orang putra: Natu Manue dan Natu Sahunawe.
Nama kedua purta Raja Nunusaku itu masing-masing memiliki arti penuh makna. Natu Manue mempunyai arti kapten atau panglima perang yang dalam perang – saat diserang atau menyerang musuh – atau bepergian jauh, Natu Manue biasanya terbang-terbang. Sedangkan Natu Sahunawe mempunyai arti kapten atau panglima yang dalam berperang atau berpergian jauh, memiliki langkah yang panjang ke mana pun ia pergi. Entah apakah arti tersebut bermakna sebenarnya atau sekadar metafor. Kedua putra raja tersebut kemudian mempunyai jabatan masing-masing dalam kerajaan sebagai kapten atau panglima perang.
Awalnya kedua Putra Upu Aman Latu Nunusaku hidup rukun, aman, dan damai. Namun seiring berjalannya waktu, Raja Nunusaku memasuki usia senja dan kedua putra raja pun mulai berebut tahta kerajaan. Hal itu terlihat pada setiap permasalahan yang terjadi dalam Kerajaan Nunusaku yang memicu perselisihan dan kerap mengorbankan rakyat Nunusaku.
Melihat hubungan kedua putranya yang kurang harmonis, Raja Upu mengadakan musyawarah besar. Pada musyawarah, Sang Raja mengambil keputusan untuk mengeluarkan kedua putranya dari Kerajaan Nunusaku. Itu dilakukan agar rakyat Nunusaku tidak lagi menjadi korban dari setiap permasalahan yang timbul atas ulah kedua putranya. Mendengar keputusan ayahandanya, Natu Manue dan Natu Sahunawe mencari jalan untuk keluar dari Nunusaku. Namun keputusan raja justru menimbulkan huru-hara baru di antara kelompok pengikut kedua putra mahkota tersebut.
Tibalah hari perpisahan atas keluarnya kedua putra Raja Nunusaku dari kerajaan. Sebelum berangkat meninggalkan Nunusaku, kedua putra raja berdiri di bawah pohon beringin yang tumbuh melingkari pohon sagu di atas batu besar yang menjadi sumber mata air sungai (Wae Tala, Eti, dan Sapalewa).
Kedua putra raja berdiri sambil menyanyikan dua kapata atau lagu perpisahan yang berbunyi: “Hiti-hitio tui-tui tahei lete hei lete yahei lete Nunusakuo, Nunusakuo Nunusaku paratamao.” Usai menyanyikan lagu tersebut, keduanya berkata, “Nunusaku re sama ita mansiau mai Nusa Ina kaka wani.”
Ada hal yang sangat penting dalam perpisahan kedua putra Raja Nunusaku sebelum berpisah meninggalkan Nunusaku. Ketika itu Natu Manue dan Natu Sahunawe masih tetap berdiri di bawah beringin. Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano eu pusu Wae Sapalewa Poe. Natu Sahunawe, ano eu pusu Wae Tala Poe.” Artinya, “Natu Manue, kamu berjalan menelusuri Sungai Sapalewa. Natu Sahunawe, kamu berjalan menelusuri Sungai Tala.”
Namun, sebelum kedua putra raja meninggalkan Kerajaan Nunusaku, kelompok-kelompok pengikut tersebut memohon kepada Raja Nunusaku agar mereka ikut serta meninggalkan Nunusaku. Mendengar permohanan tersebut, Raja Nunusaku berkata “Munata nanie pusimo eumo ari honi Nunusaku, reimo pusimo omo poe nunue nohue remo!” (Jika kalian semua berkehendak meninggalkan Nunusaku, kalian semua berdiri di bawah pohon beringin itu!”)
Mendengar perkataan Raja Nunusaku, kelompok-kelompok masyarakat Nunusaku tersebut berkumpul bersama-sama dengan Natu Manue dan Natu Sahunawe. Pengikut masing-masing kubu pun berdiri di Wae Sapalewa (bagian utara) serta Natu Sahunawe di Wae Tala (bagian selatan). Sebagian kelompok yang tidak memihak kedua putra Raja Nunusaku berdiri di batu pada sumber mata air Wae Eti.
Melihat semua rakyat Nunusaku bersama kedua putranya sudah berada di bawah pohon beringin yang melingkari pohon sagu tersebut, Raja Nunusaku menunjuk di atas pohon tersebut dengan tombak yang dipegangnya sambil berkata, “Nunue mese-mese.” Seketika itu di bawah pohon beringin – yang tadinya rakyat Nunusaku banyak berdiri bersama kedua putranya – pun menghilang entah ke mana. Yang tersisa hanya kedua putra dan beberapa orang pengikut Natu Manue dan Natu Sahunawe. Kelompok Natu Manue tersisa empat orang ditambah Natu Manue sendiri, maka menjadi lima orang. Kelompok Natu Sahunawe tersisa delapan orang ditambah Natu Sahunawe sendiri, maka menjadi sembilang orang. Sementara kelompok rakyat Nunusaku lainnya yang tidak memihak kedua putra, hanya tersisa sembilan orang.
Melihat hal tersebut, Raja Upu Aman Latu Nunusaku berkata, “Natu Manue, ano runame mansiau hata ate remo runa amo ruam oyo omi nima eu resunoi oruemo tau motihue otoe isa omimo omi Hata Nima. Natu Sahunawe, ano runame mansiau hata wanu remo runa amo ruam oyo omi sia eu resunoi oruemo tau tihue otoe isa omi Hata Sia Putia. Runa omi sia remo euresunoi oruemo taumo tihue otoe isa omi Hata Sia Metena.” (Natu Manue, kamu dan keempat orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian adalah kelompok Pata Lima. Natu Sahunawe, kamu dan kedelapan orang yang bersama denganmu dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru sebagai tempat tinggal kalian yang baru kalian adalah kelompok Pata Siwa Putih. Dan kalian kelompok rakyat Nunusaku yang lain yang tidak memihak salah satu dari kedua putraku, karena kalian berjumlah sembilan, dalam perjalanan mencari tempat tinggal yang baru kalian kelompok Patasiwa Hitam.)
Selesai berucap, Raja Upu menghilang seketika. Melihat kejadian tersebut, Natu Manue dan Natu Sahunawe serta kelompok lain pun meninggalkan Nunusaku. Natu Manue dan pengikutnya (Pata Lima) berjalan menelusuri Wae Sapalewa dan Natu Sahunawe dan pengikutnya (Pata Siwa Putih) berjalan menelusuri Wae Tala. Kelompok lain yang berjumlah sembilan (Pata Siwa Hitam) berjalan menelusuri Wae Eti. Itulah yang menjadi cikal bakal runtuhnya Kerajaan Nunusaku sekaligus menjadi permulaan bagi Pata Siwa dan Pata Lima untuk merujuk pembagian kelompok-kelompok masyarakat adat di Nusa Ina Pulau Seram. Sampai saat ini, penamaan Pata Siwa dan Pata Lima dipakai sebagai lambang asal mula suatu negeri pecahan Nunusaku. Jika pada zaman sekarang ada suatu negeri di Bumi Nusa Ina yang tidak memiliki adat istiadat atau kebudayaan dan tradisi dari kedua kelompok, maka negeri tersebut bukanlah penduduk asli Nusa Ina.
Tetapi ada kisah lanjutan lain. Setelah perpisahan, Natu Manue dan pengikutnya yang berjalan menelusuri Wae Sapalewa menuju utara Bumi Nusa Ina, lantas berpisah. Natu Manue justru berjalan menuju timur Nusa Ina. Dalam perjalanan mencari tempat yang baru itulah, Natu Manue tiba di suatu tempat bernama Asinahu Sanawai. Asinahu Sanawai adalah dua sungai yang ada di bagian utara Nusa Ina dan memiliki nilai historis yang penting bagi Suku Nuaulu. Di sanalah mereka percaya peradaban awal Nuaulu bermula dan berkembang.***Syahadatul Khair