MALUKU- Duka mendalam dialami keluarga Ibu Alwia Difinubun. Anak perempuannya, penderita Gizi Buruk, meninggal dunia di tenda pengungsian, Dusun Kelapa Dua, Kecamatan Kairatu, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Sabtu (12/10).
Sebelum meregang nyawa, balita berusia 2,6 tahun itu, telah diperiksa sejumlah tim medis, baik sebelum gempa maupun di dalam camp pengungsian.
Sayangnya, penanganan anak sulung Alwia ini diduga tidak menjadi prioritas baik tim medis maupun pemerintah daerah setempat.
“Harusnya tim medis melaporkan hal itu kepada pemerintah. Tapi entah sudah diberitahukan atau belum, tapi kok dibiarkan tetap berada di dalam tenda,” kata salah satu warga kepada Kabar Timur.
Warga yang meminta namanya tidak disebutkan itu, mengakui jika tim medis telah meminta orang tua korban untuk dibawa ke Puskesmas agar dapat dirawat inap. Sayangnya, permintaan tim medis tersebut tidak dapat dilakukan akibat keterbatasan biaya.
“Kan biar orang tua tidak mau lagi, perawat harus bisa membujuk orang tua korban. Tapi masa orang tua tidak mau kemudian dibiarkan?,” heran warga itu.
Mirisnya, lanjut dia, selama di lokasi pengungsian, harusnya pemerintah daerah mengetahui jika ada korban penderita gizi buruk. Sehingga penanganannya diprioritaskan.
“Apakah kalau orang tua tidak mau bawa ke Puskesmas karena memikirkan biaya lalu dibiarkan saja,” katanya.
Kepala Dusun Kelapa Dua, Abdu Rakib Narahubun, saat dikonfirmasi wartawan melalui telepon genggamnya membenarkan korban meninggal dunia di tenda pengungsian.
“Ia betul. Anak itu meninggal karena gizi buruk. Sudah dimakamkan sore tadi. Saya tidak tahu namanya, tapi ibunya bernama Alwia Difinubun,” kata Narahubun.
Menurutnya, penyakit yang dialami korban diketahui sejak lama, sebelum gempabumi melanda.
Kemudian, saat berada di tenda pengungsian, korban juga sudah ditangani tim medis.
“Memang dari medis puskesmas, dari dokter sudah kunjungi dan arahkan untuk harus rawat inap di puskesmas satu minggu. Sebelum gempa malah. Dong arahkan rawat inap di puskesmas dan kalau bagaimana-bagaimana rujuk lagi di rumah sakit besar di Piru,” terangnya.
Permintaan tim medis untuk rawat inap sudah disampaikan kepada orang tua korban. Sehingga jika belum ada perkembangan, korban dapat dirujuk ke Ambon. Tapi akibat keterbatasan ekonomi, orang tua korban merasa keberatan.
“Orang tua keberatan, ya karena kehidupan mereka, ekonomi. Memang ada BPJS tapi hal-hal lain pastinya (makan minum di rumah sakit dipikirkan). Tapi mau biking bagaimana mungkin karena tidak uang lagi, apalagi ada gempa-gempa susulan tarus bagini,” pungkasnya.***
Berita ini dikutip dari kabartimurnews.com dengan judul asli : Miris, Balita Gizi Buruk di SBB Meninggal di Tenda Pengungsian.*** Penulis Kabartimur(CR1)