OPINI, KABARTERKINI.NEWS – Negeri Kilmury dan Kecamatan Kilmury di Kabupaten Serama Bagian Timur (SBT), Provinsi Maluku – Indonesia adalah negeri yang selama ini dilupakan oleh wakil rakyat dan Pemerintah. Baik dari pusat sampai pada daerah.
Kita sadar bahwa kita berlayar dari peradaban yang kuno, menuju peradaban baru yang brengsek. Terlalu kasar, mungkin. Tetapi perlu berkata demikian, sekedar pemuasan diri atas segalah sabda para nabi-nabi musiman. Kalian harus menyadari siapa nabi musiman yang dimaksud. Saya rasa, itu terlalu mudah untuk ditebak, karena mereka ada di antara bau badan kita.
Pecahkan saja pelitanya , biar mereka puas. Semua malam menjadi gelap, sunyi menakutkan. Mereka berusaha membunuh mimpi kita, biarlah. Setidaknya kita telah mendengar sabda mereka tentang kita yang menyaksikan 74 tahun bekas asap pelita di antara kedua lorong hidung, dan bersusah payah berenang demi memperjuangkan cita-cita.
Pagi yang kita lalui selalu begitu saja, tidak apalah. Biarkan mereka menikmati sabda mereka sebagai lelucon pengantar tidur, mungkin juga terbahak-bahak membayangkan wajah kita yang cemas-cemas harap.
Minor dari kelimury hanya sebuah teriakan protes yang mereka mendengarnya sendiri. Seolah terpantul dari dinding Gunung Teri yang menjulang, hingga tidak sampai pada telinga para nabi-nabi musiman. Atau memang mereka, para nabi-nabi musiman tersebut memiliki pendengaran yang buruk, dan mungkin juga penglihatan mereka dilapisi kacamata bening, namun sayang sejauh ini terkesan rusak.
Usia kabupaten kita sebentar lagi mencapai 20 tahun, lagi-lagi kita terpenjara, bung ! lebih baik kita tidur, dan mengubur impian kita bersama pelita yang hendak kita pecahkan. Percuma saja berharap, mereka tidak mendengar, tidak perduli, melihat, ah, masa bodoh-percuma, bung.
Dialog singkat anak negeri
“Woo… lidan si bo winda timur ra dasaka di otu loka. Keh, oras magei tasaka nini?” Maksudnya, (Katong pung basudara di bagian timur sudah naik mobil, sampai kapan katong naik juga?”
“Eee… saudara tuang eeh. Jembatan wa moo nini nai tei mo… apalagi otura? Nini anak si setiap hari daaa ngangu da gutuk aaar ra nai datagi daa sikolah. Moleee sei yang na langar tu namargarti?”.
Artinya (Ee.. saudara tuang eh, jembatan saja katong punya tidak ada, apalagi mobil? Katong punya anak-anak tiap hari berenang lewat kali untuk pergi ke sekolah. Namun sapa yang mengerti ?)
“ira te saudara tuang. Garanaa da balajar tu ra lampu mafun na. Mata di namaret, iso di tutulaka na metan. Moleee sei yang na langar tu namangarti?”
Maksudnya, (itu sudah saudara tuang. Malam belajar dengan lampu pelita. Meraka punya mata pedis, lubang hidung hitam. Namun, sapa yang bisa liat dan mengerti ?)
74 tahun hidup tanpa negara, mungkin itu wajar dikalimatkan. Jika jarak menjadi kendala, kenapa bisa sebuah gunung menjadi jalur berlalu lalangnya kendaraan? padahal, medannya lebih ekstrim. Sebaiknya para nabi-nabi musiman rajin bersafari ke desa-desa, bukan sebagai lambang pencitraan.
Tujuan dari safari tersebut agar saat dimana diskusi itu dilakukan, mereka memiliki bahan cerita untuk didengarkan, namun jangan sebagai dongeng penghantar bagi sebagian yang berusaha tidur di antara ruang diskusi yang mewah.
Kini, para nabi-nabi musiman baru saja melewati tahap sumpah, sebgiannya menunggu giliran. Ya, kemungkinan yang baik, mereka-mereka ini memiliki penglihatan yang bagus, pendengaran yang baik, dan nurani yang bagus pula.
Pilihan ada di dalam diri mereka. Mau menjadi petarung di ruang-ruang diskusi tentang hak-hak rakyat? atau mulut terjepit, duduk melipat tangan, mengandalkan seruan “ya sepakat !” dan pulang begitu saja, sambil membayangkan mimik cemas-cemas harap rakyat terpencil, kemudian tertawa ha-ha-ha-ha, dan tidur melupakan sabda-sabda yang sebrlumnya menimbulkan kegembiraan di antara anak-anak desa.
Sehingga mereka merasa tidak lama lagi jembatan akan dibentangkan untuk menghentikan derita berenang, tidak lagi udara di meja belajar tak berasap lagi, dan mereka begitu asik membayangkan belajar di bawah cahaya terang lampu-lampu listrik di saat malam. Sebuah refolusi yang sekian tahun mereka dambakan.
“Keh, sudara tuang e.. ku sabi masain iwa nai tata anak si bolu da sengsara kitime kita boloka. Ngarakka utufitu resi fat, mau dunggu ngarak fis woun?”
Artinya, sio saudara tuang e, Beta bicara banyak-banyak ini par jangan katong punya anak cucu hidup sengsara lagi. 74 tahun sudah jua, mau berapa tahun lagi.
Tulisan ini menjadi tanggung jawab penuh oleh saudara Sofyan Kastella. Pemuda Desa Gunak, Kecamatan Kilmury, Kabupaten SBT. Yang hingga kini masih hidup dengan lampu pelita.