KABARTERKINI.NEWS– PERSOALAN pemilihan kepala desa serentak yang dicanangkan pemerintah kabupaten (Pemkab) Seram Bagian Barat (SBB) menuai protes.
Dinamika Pilkades serentak tersebut menjadi perbincangan hangat semua kalangan. Pasalnya, aksi protes dari masyarakat akar rumput di kabupaten bertajuk Saka Mese Nusa itu dilakukan berulang-ulang meski Pemkab setempat telah memberikan pilihan alternatif.
Namun, sikap pemkab ini dinilai tidak menghargai pranata adat dan budaya yang dimiliki negeri-negeri di kabupaten tersebut.
Menyikapi dinamika yang terjadi di Kabupaten yang dipimpin Moh Yasin Payapo dan Timotius Akerina sebagai Bupati dan Wakil Bupati tersebut, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-Perjuangan) melalui Fraksi di DPRD angkat bicara.
Ketua Fraksi PDIP, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Andarias Kolly, mengatakan berkaitan dengan polemik Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak, maka Fraksi PDIP Kabupaten SBB mencermati dan mengkaji berbagai persoalan berkaitan dengan peraturan per UU yang berlaku, khususnya UU Nomor 6 tahun 2014 dan juga Permendagri 52 tahun 2014 tentang Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
“Olehnya itu, Fraksi PDIP Kabupaten SBB berpendapat bahwa apa yang dilakukan Pemerintah Daerah melaksanakan Pilkades serentak di Negeri-Negeri Adat sangat bertentangan dengan UU dan Hak Asasi Manusia,” tegas Kolly, kepada wartawan, di Ambon, Kamis (13/2) siang.
Dimana lanjut dia, UU sebagai perangkat perundang-undangn mengamanatkan bahwa pemda wajib melaksanakan berbagai regulasi berkaitan dengan perlindungan maayarakat hukum adat.
“Tetapi di SBB akan melaksanakan pilkades serempak, padahal kita ketahui bersama bahwa tahun 2019 bulan April, DPRD sudah berinisiasi melakukan mengadakan perda, yaitu perda tentang negeri adat, tentang saniri negri dan idensifikasi negri adat. Dan itu sudah hampir final,” akui dia.
Namun lagi-lagi lanjutnya, Pemkab SBB dengan berbagai alasan mengatakan identifikasi negri adat itu adalah kewenangan Bupati melalui Pergub. “Terkandalanya disitu,” tekannya.
Kolly mengakui, gejolak sosial akibat dari kebijakan Pemkab ini begitu terasa di masyarakat terutama masyarakat negeri-negri adat yang dikabiri haknya dengan cara tidak Pemkab tidak menghormati tatanan yang sudah ada.
“Perlu kita ketahui bersama bahwa di negri-negri adat akan dibentuk panitia pelikades serempak. Ini memang sangat miris dan dari belakang berbagai gejolak muncuk di negri-negri adat dan ini sangat disayangkan,” papar dia.
“Kami, Fraksi PDIP berpendapat bahwa hal ini bisa menimbulkan konflik atau perpecahan di masyarakat dan akan berimbas kepada hal-hal yang tidak kita inginkan.Untuk itu kami berharap pemda berksikap bijaksana untuk kemudian melihat dan mengkaji kembali pilkades serebtak, khsusunya di negri-negri adat,” harap dia.
Kembali ditegaskan, kebijakan Pemkab bertentangan dengan UU nomor 6 dan Perda no 52 tahun 2014 tentang perlindungan masyarakat hukum adat. Kemudian ada wacana muncul bahwa “Pilkades saja dulu, nanti pemda akan mengusulkan untuk mengubah desa menjadi negri”, ini sebenarnya bagi suatu kebodohan.
“Kenapa? PP nomor 52 mengamanatkan salah satu persyaratan untuk menjadi negri adat itu adalah memiliki kelembagaan atau pemerintahan adat. Tetapi pemda melaksanakan pilkades, dengan demikian ini sebenarnya suatu kesengajaan untuk melepaskan negri-negri adat yang ada di sana,” endusnya.
“Pilkads setau kami, hasil dari pilkades adalah jaringan desa, karena yang melaksanakan pemilihan kepada desa, panitia dibentuk oleh BPD, bukan saniri. Sementara untuk kelembagaan adat yang ada di SBB itu ada saniri dan ada juga yang namanya raja. Jadi sangat bertentangan dengan waktu dan tujuan dari pada maksud dan tujuan perlindungan masyarakat adat,” tambah Kolly mengakhiri keterangan persnya.
Sementara Jodis Rumhasoal, anggota DPRD SBB Fraksi PDIP menambahkan, sesuai dengan hasil rapat internal pihaknya beberpaa hari yang lalu, fraksi PDIP perjuangan wajib menyatakan sikapanya.
Ini semua karena dampak sosial di kalangan masyarakat teralalu besar. Menyikapi pilkades serentak di SBB kata dia, yang pertama dari sisi regulasi ini merupakan agenda nasional dan harus dijalankan.
Tetapi untuk negril adat itu tidak bisa dilakukan, karena di SBB itu sedkitinya ada 86 negeri adat. Tapi oleh pemkab belum dialih fungsikan menjadi negri adat.
“Instrumen nasional kami menudukung pelaksanaan Pilkades untuk desa, namun tidak sampai mengakbiri hak masyarakat adat,” tegasnya.
Namun yang menjadi persoalan di SBB ini, ada lima buah Ranperda yang disahkan, yakni dua inisiatif DPRD dan tiga eksekutif, yakni Desa BPD dan Pilkades serentak, yaitu Perda 10, 9 dan 11 tentang Desa, BPD dan Kades dan Saniri diatur oleh Perda 12 dan 13, yaitu Negeri dan Saniri, tinggal penetapan negeri. Menjadi masalah, kalau hari ini dilakukan Pilkades Serentak, berarti status itu otomatis menajdi desa, bukan negeri.
“Nomor Register Perda itu sudah ditetapkan tinggal penetapan negeri sehingga dialihkan status mana desa dan mana negeri, dan itu sudah ditetapkan Perda Provinsi yang sekarang sudah direvisi, yakni Perda 14 tahun 2005, yang menjelaskan bahwa seluruh Kabupaten/Kota di Maluku merupakan negeri adat. Karena perintah UU sudah jelas,” paparnya.
Anggota komisi I ini menghimbau dan menyarankan, Pemkab bisa mengundurkan pelaksanaan Pilkades sampai sudah ada penetapan negeri-negeri adat. Agar bisa sesuai denga aturan main yang mana pemilihan kepada desa untuk desa administratif dan pemilihan raja berlaku di negeri-negeri adat. Karena ini telah ditetapkan dalam aturan.*** RISKA