“Saya sarankan laporkan jika ada indikasi kelalaian hukum. Jangan dengan mengiring opini publik untuk membeci Polri di Maluku. Apalagi ini juga berdampak terhadap profesi wartawan khususnya dan perusahan pers umumnya di Maluku.
KABARTERKINI.NEWS- Demonstrasi termasuk hak demokrasi yang idealnya bisa dilakukan secara damai, intelek, dan santun. Hanya saja hak ini biasanya diselewengkan oleh oknum-oknum tertentu untuk berbuat rusuh. Demonstrasi juga merupakan media pencerdasan atau pembodohan secara massif. Karena memang yang berperan dalam kegiatannya adalah massa yang berjumlah banyak, sehingga opini yang dimunculkan pun memiliki kekuatan massa.
Hal ini disampaikan Ketua Forum Pers Independen Indonesia (FPII) Sekretariat Wilayah (Setwil) Provinsi Maluku, Umar Wattiheluw, Sabtu, 23/04/2019.
Wattiheluw menilai sebagian aktivis di Maluku tidak memahami fungsi aksi, hak dan kewajibannya sebagai agen of control di tengah-tengah masyarakat.
“Hal ini dapat dilihat dengan gerakan masif yang dimainkan kelompok Mahasiswa yang melakukan aksi baru-baru ini,” akuinya.
Dikatakan, adalah benar jika mahasiswa turun jalan untuk melakukan protes terhadap sebuah problem ditemui, yang mana sebelumnya telah buntut jalan keluarnya melalui mediasi.
“Akan lebih salah lagi, jika turun aksi melanggar hak-hak warga negara lain apalagi melakukan kegadungan yang berefek besar, menggangu KAMTIBMAS” jelas Wattiheluw.
Wattiheluw mengakui, seorang mahasiwa yang pada akhirnya memilih jalan menjadi aktor dalam demonstrasi massa, artinya dia sendiri telah memilih menjadi seorang publik
figur.
Peran media dalam hal ini memberitakan/menyampaikan adanya aksi sudah barang tentu sebuah keharusan. Apalagi aksi tersebut untuk kepentingan orang banyak.
Nyatanya di Maluku, kota Ambon khususnya, akibat ketidak famahaman aktivis era ini, akhirnya menciptakan kegaduhan dengan sebaran ujaran kebencian menjadi sebuah kemirisan tersendiri.
“Alhasil ada yang menjadi korban fitnah, korban ban ujaran kebencian melalui media sosial,” akui Wattihelu.
Wattiheluw memberikan contoh dalam aksi para aktivis di lokasi gong perdamaain kota Ambon pekan kemarin.
Dirinya melihat, akibat dari arogansi para aktivis ini, mengakibatkan sejumlah pihak merasa dirugikan. Termasuk didalamnya sejumlah pekerja media dan perusahan pers di Maluku.
“Bertebaran dari grup ke grup media sosial sejumlah oknum aktivis menyatakan sikap lawan dengan tensi yang tidak wajar. Menyebar opini yang tidak mencerminkan seorang Mahasiswa. Ini berpotensi buruk tentunya,” papar dia.
Wattiheluw mengingatkan, aktivis yang telah memilih jalan demonstrasi kemudian menjadi aktor, harus tahu apa itu hak tolak, hak jawab dan hak koreksi sebagai publik figur.
Selain itu, berkembangnya tecnologi era ini, memaksakan para aktivis juga wajib memperlajari metode penulisan berita.
“Yang saya tangkap dalam berita kejadian tersebut di beberapa media online, rata-rata itu berita pantauan,” akui Wattiheluw.
Dilanjutkan, biasnya akan ada berita lanjutan atau nantinya akan ada penjelasan lainnya setelah berita pantauan dinaikan di media online.
“Mereka arogan dan langsung menuding. Wartawan di Maluku bisa terancam dengan sikap arogansi Mahasiswa seperti ini,” ulas Wattiheluw.
Padahal dalam aturannya jika mau mengikuti alur, mestinya menggunakan Hak Jawab. Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Ada juga hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
“Implementasi hak tersebut, tertuang dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) UU pers, bahwa Pers wajib melayani hak jawab dan Pers juga wajib melayani hak tolak. Hak tolak ini juga diperkuat di pasal 4 ayat (4) yang menegaskan, bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum,” papar Wattiheluw.
Menutup keterangannya, dirinya menilai secara hemat, aktivis yang melakukan aksi pekan kemarin syarat akan kepentingan. Membentuk opini yang terkesan melancarkan ujaran kebencian terhadap oknum kepolsian.
“Saya sarankan laporkan jika ada indikasi kelalaian hukum. Jangan dengan mengiring opini publik untuk membeci Polri di Maluku. Harus lebih rasional dalam menyikapi
ini,” tutupnnya.*** Rul
SEKILAS TENTANG FPII
Sejalan dengan adalanya pendiskriminasian terhadap kebebasan berpendapat yang diatur dalam UUD’45, serta kemerdekaan Pers yang diatur dalam UU Pers 40/1999, serta adanya RUU Panjang yang didalamnya terdapat perubahan UU Pers dialihkan ke UU KUHP.
MAKA, Forum Pers Independent Indonesia (FPII) dibentuk pada Bulan Februari 2017 di Jakarta. Adapun terbentuk dan terlahirnya FPII ini yakni:
Pertama, sudah adanya diskriminasi terhadap insan pers dan pemilik media yang notabenenya media non maenstrem atas kebijakan kebijakan dewan pers yang dianggap keluar dari konstitusi UUD’45 dan UU Pers No. 40/1999.
Kedua, semakin maraknya kriminalisasi jurnalis dalam lakukan tugas peliputan, dan dewan pers terkesan diam, tidak adanya advokasi / pembelaan karena dianggap media media kecil di Indonesia tidak terverifikasi versi dewan pers.
Ketiga, Dewan Pers bukan lagi berdiri pada Tufoksinya dan sudah menjadi jelmaan pembela penguasa dan pemerintah.
Keempat, Dewan Pers telah mendorong adanya perubahan UU Pers ke UU KUHP (PANJA) terhadap media media yang tidak terverifikasi.
Kelima, hadirnya FPII membentuk garda terdepan untuk melawan kebijakan kebijakan dewan pers yang keluar jalur dari konstitusi UUD’45 dan UU Pers.
Keenam, FPII memberikan advokasi kepada wartawan maupun media yang didiskriminasi dewan pers, FPII mengawal wartawan yang mendapatkan hinaan, kekerasan bahkan kematian sampai hukum kemerdekaan pers ditegakan.*** RUL/TIM REDAKSI