KABARTERKINI.NEWS- Babak baru proses seleksi calon Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Maluku. Seperti yang diketahui, Tim Seleksi (Timsel) yang baru berada dibawah lindungan hukum PKPU RI No. 2 Tahun 2019. Mirisnya, PKPU RI nomor 2 itu benar-benar telah kehilangan legitimasi publik.
Tidak sampai disitu, skeptisisme kolektif masyarakat yang pada giliranya bermuara pada krisis “Delegitimasi” atas proses rekruitmen calon komisioner KPU Maluku itu sendiri.
Menurut praktisi hukum tata negara, Fahri Bachmid, kondisi ini sangat berbahaya. Apalagi ditengah tensi politik Pilpres/Pileg 2019 yang sebentar lagi akan dihelat. Apalagi ditengarai juga bahwa proses ini penuh dengan akrobat politik dibalik Pembekuan Timsel yang lama tanpa adanya kejelasan hukum serta kesalahan (punisment) yang jelas.
Diingatkan, kejelasan serta kesalahan pasti Timsel lama itu tidak terkuak. Bahkan dapat dipastikan tak ada kesalahan sedikitpun. Hal ini karena sistem yang dijalan massa itu sudah melaju pada rel aturan yang ditetapkan Undang-Undang.
“Situasi serta suasana kebatinan dalam konteks ini dapat kita telisik lebih jauh,” tegas Bachmid.
Bachmid menyebutkan ada 3 point penting yang dapat dikaji dalam konteks persoalan tersebut diantaranya :
Point pertama, bahwa publik Maluku tidak cukup disuguhkan dengan alasan serta logika hukum yang mumpuni (legal reasoning) dibalik pembekuan/pembubaran Timsel yang lama. Artinya tidak cukup pijakan yang argumentatif serta alasan-alasan legal lainya yang terukur dibalik tindakan pembekuan itu. Sehingga berimplikasi pada terhentinya proses dan tahapan rekruitment calon komisioner KPU Maluku yang dilakukan oleh Timsel yang lama.
Secara sederhana perbedaan sikap dan cara pandang antara KPU RI dengan Timsel yang lama adalah berangkat dari metode penafsiran atau multitafsir atas instrumen hukum yang berlaku. Yakni, ketentuan pasal 21 ayat (6) huruf a PKPU No. 7 Tahun 2018 Jo. PKPU No. 27 Tahun 2018 yaitu paling banyak 7 (tujuh) kali dari jumlah calon anggota KPU Provinsi yang dibutuhkan dan ketentuan pasal 28 ayat (3) dan pasal 29 ayat (1) UU RI No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Yaitu mengajukan sebanyak 2 (dua) kali jumlah anggota KPU Provinsi yang berahir masa jabatanya kepada KPU.
“Artinya secara “expresiv verbis” Timsel diperintahkan secara langsung oleh undang-undang dan Peraturan KPU untuk memenuhi kebutuhan quota,dan bukan passing grade 60,” ungkp Bachmid.
Sementara disisi yang lain lanjut dia, Timsel diperhadapkan dengan produk hukum KPU yang lebih rendah yaitu Keputusan KPU No. 252/PP.06.kpt/II/2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan KPU No. 35/PP.06.kpt/05/KPU/II/2018, Tentang Petunjuk Teknis Seleksi Anggota KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota.
“yang mana ini penekanannya lebih pada untuk memenuhi passing grade 60, yang secara hukum tidak diperintahkan langsung oleh undang-undang Pemilu maupun PKPU No. 7/2018 Jo. PKPU No. 27/2018. Kompleksnya, tidak ada kewajiban hukum Timsel untuk mengikuti Juknis seperti itu yang secara hirarkis perundang-undangan bukan merupakan peraturan yang bersifat mengatur (reggeling),” akuinya.
Ditegaskan pula, JUKNIS dapat diabaikan, sebab JUKNIS hanyalah Belleidd yang tidak mempunyai konsekwensi yuridis. Jadi pangkal soal atas semua itu adalah produk hukum yang dibuat oleh KPU RI itu sendiri. Seperti ambang batas 60 yang diatur dalam Juknis KPU, maupun pengajuan 7 kali kebutuhan yang diperintahkan oleh peraturan KPU,dari sisi hirarkis perundang-undangan.
Maka Timsel mempedomani PKPU No. 7 Tahun 2018 maupun PKPU No. 27 Tahun 2018 adalah benar dan legal, sehingga tidak dapat dipersalahkan.
“Dengan demikian ketika KPU RI menindak Timsel Maluku dengan melakukan pemberhentian adalah tindakan yang bersifat sewenang-wenang dan cenderung “Eksesif” dan ini harus dihentikan,” tekan Bachmid.
Point Kedua, bahwa KPU RI sebagai “States Auxiliary Bodies” berdasarkan UU RI No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum memiliki kewenangan yang salah satunya adalah instrumen yang bersifat “Rules Making Fungtion” atau atribusi kekuasaan (attributie van rechtmacht). Kekuasaan membentuk perundang-undangan (attributie van wetgevendemmacht). Yaitu membuat peraturan KPU untuk menjabarkan hal-hal teknis lebih lanjut tentang penyelenggaraan Pemilu.
“Nah pada tingkat ini, KPU gagal dalam membuat perencanaan pembentukan hukum yang adil dan baik yang tentu untuk melindungi proses dan tahapan Pemilu yang baik dan kredible,” papar Bachmid.
Hal itu tidak sejalan dengan UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,yang mencakup, tahapan, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan/Penetapan dan Pengundangan.
Pada tingkat ini nampak KPU RI tidak matang dalam pembentukan hukum sesuai perencanaan berdasarkan kebutuhan hukum penyelenggara. Nyata yang terjadi adalah sebaliknya. Sisitem tambal sulam serta tiba masa tiba akal, yang pada ahirnya masyarakat/publik yang dirugikan.
“Contoh yang paling terkini adalah Maluku. Bisa dibayangkan untuk kepentingan sektoral untuk provinsi Maluku saja, KPU RI membuat PKPU RI No. 2 Tahun 2019. Ini tidak logis. Apa “Reasoning” dibalik lahirnya PKPU RI No.2/2019,? ini untuk siapa,? dan apa urgensinya,” Bachmid bertanya.
Tak dinapikan, dirinya heran, organ negara sebesar KPU bisa mengambil langkah mahal seperti itu. Apalagi dengan membajak hak konstitusional publik. Menurutnya sangat aneh karena instrumen hukum PKPU cuman dibuat dalam rangka menampung keadaan istimewa serta selera dan kehendak eksklusif KPU itu sendiri.
“Kemudian hak kolektif publik diabaikan serta di negasikan secara sewenang-wenang. Ini merupakan ironis di alam demokrasi konstitusional seperti ini,” endusnya.
Point ketiga, bahwa KPU RI secara institusional sebagai “Self Regulatory Agencies”/,Independent Supervisory Bodies” dalam melaksanakan tugas,fungsi,dan kewenangannya terhadap proses Pemilihan Umum sesuai mandat hukum dan konstitusi. Yang mana senantiasa berpijak pada kaidah-kaidah legitimasi publik (publieke legitimiteit) sebagai esensi dari prinsip kedaulatan rakyat (volks souvereniniteit).
Bagaimana jadinya jika lembaga penyelenggara yang dibentuk berdasarkan prinsip keterbukaan,akuntabilatas,partisipatoris dengan melibatkan publik (publik trust) sebagai penyokong legitimasi, berubah menjadi “Publik Distrust”,?.
Krisis kepecayaan serta skeptisisme yang cukup besar atas penyelenggara KPU Provinsi Maluku yang berangkat dari proses rekruitmen yang cacat yuridis serta cacat legitimasi,?. Bagaimana nantinya KPU Provinsi Maluku yang dihasilkan dari proses ini bisa bekerja,? jika telah terjadi “publik distrust”,?.
“Ini merupakan hal yang amat sangat krusial untuk dibenahi. KPU RI harus mengambil langkah-langkah luar biasa untuk mengatasi masalah ini,” desak Bachmid.
Sebab, kata dia, bisa menjadi masalah sistemik dan pada ahirnya berujung pada krisis legitimasi yang dapat mengganggu produk pemilihan umum itu sendiri.
“Artinya secara akademik tidak akan terhindarkanya berbagai implikasi, baik secara yuridis, politis, maupun legitimate. Disitu titik krusialnya,” pungkasnya.*** Rul