KABARTERKINI.NEWS, Ambon – Sebuah refleksi tentang kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama Badan Pengelola Latihan (BPL) Himpuanan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon dan Himpuan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Ekonomi Syariah (EKSY) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon, serta bantuan dari Parade Cinta Tanah Air (PCTA) Provinsi Maluku. Yang diselenggarakan di Gedung Studen Center IAIN Ambon pada
Jumat, (18/01) kemarin.
Kegiatan berskalah Nasional ini dihadirkan dua narasumber yakni A. M. Safwan dari Kordinator Jaringan Filsafat Islam (Jakfi) Nusantara, dan Abdul Manaf Tubaka salaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama pada perguruan tinggi IAIN Ambon. Keduanya memberikan materi terkait tema yang disediakan panitia yaitu “Filsafat politik islam dan ke-indonesiaan kita NKRI berdasarkan Pancasila”
Saya yang dipercayai sebagai moderator untuk memimpin seminar itu, merasa penting untuk cerita ini dipublikasi agar kita optimis melihat keadaan bangsa yang semakin pesimis akibat mengalami banyak turbulensi. Saat memulai kegiatan saya melontarkakan beberapa pertanyaan seputar tema di atas.
Ulasan Kedua Narasumber
Muhammad Iqbal seorang filsuf dan penyair yang paling berpengaruh di abad ke 20 secara jernih membedakan antara iolitik islam dengan iIslam politik. Politik islam adalah bagaimana nilai-nilai islam dapat ditegakkan dalam kehidupan dengan berporos pada keadilan. Berbeda dengan politik islam yang mengidealkan terciptanya nilai-nilai islam dalam kehidupan. Iqbal menjelaskan islam politik secara menarik. Menurutnya, Islam Politik adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk memperjuangkan kepentingannya dalam meraih kekuasaan.
Nah, keadaan indonesia akhir-akhir ini secara gamblang menjelaskan bahwa dalam praktek perpolitikan kita mengacu pada islam politik. dimana simbol islam dipakai untuk meraih kekuasaan, mulai dari aksi 212 sampai reuninya hingga paslon presiden yang bersaing siapa yang lebih islami.
Menurut Safwan, sangat lucu ada gimick dalam politik wajib berbohong, entah itu teori dari mana. Lanjut beliau, kesemerawutan politik tanah air terjadi atas beberapa domain. Yang pertama, sirkulasi politik kita berputar pada wilayah elit, padahal politik sejatinya universal, hal itu yang menyebabkan segalah keputusan politik hanya mengakomodasi segelintir orang.
Kedua, politik kita telah tercemar sistim oligarki. Artinya, untuk meraih jabatan tertentu seseorang harus ditopang modal dari pengusaha (perselingkuhan penguasa dan pengusaha), yang namanya pemilik modal besar berarti kapitalis dan dalam aktifitas kapitalis berdasar pada keuntungan. Akibatnya harus ada balasan dari penguasa untuk mengamankan kepentingan mereka meski mengeksploitasi hak-hak masyarakat. “Nah bagaimana filsafat melihat ini” tanaya Safwan.
Kalau kita merujuk pada defenisi yunani filsafat yaitu, cinta kebijaksanaan. Berarti dalam aktifitas siapapun terkusus pemangku jabatan yang punya andil dalam memustuskan kebijakan
haruslah berdasar kebijaksanaan. Sedangkan persoalan ke-indonesiaan, sudah kita terima sebagai takdir bahwa keberagaman tidak bisa kita hindari. Pluralisme membuat kita kaya dalam budaya dan seharusnya kita patut bersyukur. Makanya kenapa para pendiri bangsa memilih pancasila sebagai ideologi negara, sebab hanya pancasila yang mampu membuat kita tetap pada koridor NKRI. Dari sini jelas bahwa pancasila adalah harga mati.
Melanjutkan apa yang disampaikan Safwan. Ketua Jurusan Sosiologi Agama Islam IAIN Ambon Abdul Manaf Tubaka pun memulai dari kalimat sangat lucu jika dalam politik wajib
berbohong. Terlepas dari asal usul teori itu Tubaka terusterang bahwa dalam praktek politik berbohong telah menjadi faktor utama. Seakan-akan tanpa berbohong itu bukan politik.
dalam hemat saya, banyak yang beliau bicarakan sebagai dekorasi tema seminar. Namun, ada satu yang paling menarik menurut saya tentang kesemerawutan politik yaitu, politik kompromi. Politik kompromi ini terjadi secara luas di negara ini. Pada bidang hukum
misalnya, berapa banyak kasus berat yang diringankan hukuman, begitu sebaliknya. Berapa banyak kebijakan yang merugikan masyarakat ketimbang para elit.
Jika kita membaca buku “Hijrah” yang ditulis Amien Rais, kita akan temukan bahwa tidak begitu penting sebuah tipe kepemimpinan. Monarki, oligarki, demokrasi, namun keadilan tidak terwujud pastilah ada saja ruang kehancuran. Maka dari itu konsistensi dari pemerintah untuk mewujudkan keadilan serta menjunjung tinggi aspek etika dan moral baik pemerintah maupun masyarakat sangat penting untuk diwujudkan. Tidak ada pilihan lain jika kita menginginkan kemerdekaan yang subtansial.
Kesimpulan Moderator
Sebagai kesimpulan dari seminar ini ada beberapa hal penting yang saya selaku nmoderator ingin sampaikan dalam menutupi agenda diatas. Pertama, bahwa pancasila telah final sebagai ideologi negara kita. Ke dua, ke-indonesiaan kita lahir dari keberagaman etnis dan budaya yang harus kita terima dengan penuh syukur. Ke tiga, dalam praktek politik seharusnya kita jalani dengan nilai-nilai kebenaran serta berdasar pada cinta kebijaksaan. Semua akan terwujud apabila aspek moral dan etika kita junjung tinggi.
Terakhir sebagai spiral, saya menutup dengan cerita yang tertulis dalam catatan harian Ahmad Wahib, ketika itu Wadjis Anwar bertanya kepada Ahmad Wahib tentang apakah membaca
itu penting? penting kata Ahmad Wahib, membaca apa saja, membaca koran, majalah, buku, sebab membaca itu bukan hanya untuk tahu tapi juga membantu untuk membentuk prespektif kita.
Oleh Risno Ibrahim, penulis adalah mahasiswa jurusan ekonomi syariah, sekaligus kader Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Ambon.