Tulisan ini terinspirasi dari sepak terjang politisi muda SBB, Ahmad Ibra Lussy Caleg Dapil II SBB. Berdasar fakta lapangan yang diceritakan perihal keikut sertaannya pada Pemilu 14 Februari 2024.
Oleh : M Fahrul Kaisuku
KABARTERKINI.NEWS– PRAKTIK curang Pemilu 2024 cukup menegaskan jika sistem demokrasi kita belum sepenuhnya baik. Laporan pelanggaran Pemilu baik yang dilakukan oleh masyarakat, petugas penyelenggra, Pengawas, Parpol dan caleg tertentu hanya di selesaiakan oleh KPUD dan BAWASLU SBB lewat pelanggaran tindak pidana Pemilu.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran pemilu, yaitu pelanggaran kode etik, pelanggaran administratif dan tindak pidana pemilu. Hal ini tentu akan merugikan Parpol dan caleg tertentu, dan menguntungkan Parpol dan caleg lainnya.
Bayangkan saja dari 19 rekomendasi PSU yang di gulirkan oleh Panwascam seluruhnya di mentahkan oleh KPUD dan Bawaslu SBB tanpa alasan hukum yang jelas.
Belum lagi tumpukan laporan-laporan pelanggran pemilu yang hanya di selesaiakan sebagian kecil lewat GAKUMDU.
Padahal jika mengacu Pada Undang -Undang Nomor 7 Tahun 2017, PKPU 25 tahun 2023 dan Perbawaslu Nomor 3 Tahun 2023, yang mana salah satu wewenang Bawaslu yang paling subtansial dalam menyelesaiakan pelanggran-pelanggran Pemilu adalah menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian sengketa proses Pemilu.
Hingga saat ini belum ada terobosan dan langkah kongkrit yang di lakukan oleh KPUD dan Bawaslu SBB menyikapi kekisruhan Pemilu saat ini.
Wajar saja jika ada dugaan dua lembaga independen yang menjadi benteng terahir demokrasi ini telah masuk angin. Dugaan tersebut tentu beralasan, Sebab kekacauan Pemilu 2024 saat ini, khususnya untuk Kabupaten SBB dengan maraknya praktik curang yang mengakibatakan kekacawaan dan krisis kepercayaan publik terahdap 2 lembaga ini terus di suarakan oleh masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum, Karena praktik curang melalui sindikat mafia Pemilu ini bertebaran hampir di semua tempat di Indonesia yang melibatkan caleg dan partai tertentu, Petugas KPPS, PTPS, PPS, PPK dan Panwascam hingga oknun komisioner KPU/D dan Bawaslu.
Indikasi dari modus operansi yang di lakukan bisa beragam, tergantung pada masalah dan kondisi dari Partai dan Caleg tersebut. Mulai dari jual beli suara, kongkalikong mencoblos surat suara cadangan dan suara yang tidak terpakai, hingga mobilisasi pemilih yang mengklaim masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) dan DPTb.
Praktik curang yang terjadi biasanya dilakukan di tingkat paling bawah dimana petugas KPPS ditawari uang agar mau ‘mentransfer perolehan suara’ dari caleg yang tak punya saksi di TPS.
Caleg yang tidak punya saksi itu berpotensi mengalami pengurangan atau pengalihan suara ke calon yang menguasai TPS itu dan diperkuat adanya pemberian uang.
Misalnya kasus yg terjadi di wilayah Kecamatan Inamosol, Dimana ketika dilakuakan rekapitulasi suara tingkat Kecamatan, terjadi perhitungan suara ulang di beberapa TPS di wilayah inamosol.
Hasilnya terjadi pergeseran suara yang disebebakan suara rusak yang tetap dibacakan menjadi suara sah untuk parpol dan calon tertentu dan penggunaan DPK yang tidak sesuai dengan peruntukannya saat di TPS, setelah dilakukan perubahan semua saksi melakukan paraf perubahan di plano c hasil.
Anehnya sampai pada rekapitulasi di tingkat KPUD Kabupaten, Angka tersebut kembali seperti semula dan C hasil yang di uplod ke sirekap adalah C hasil yang lama di tingkat TPS yang belum mengalami Paraf, dan semua pergeseran suara saat pleno PPK tersebut tidak mengalami perubahan.
Tragisnya, ketika di pertanyakan oleh saksi partai yang sekaligus adalah saksi hidup yang menyaksikan rekapitulasi di tingkat PPK tersebut lansung dibatasi oleh Pimpinan sidang KPUD SBB dengan alasan akan dilakukan pembenahan.
Dari data 2 PKD Desa yang berada di Kecamatan Inamosol, suara partai nomor 8 dan calegnya berjumlah 114 suara sah, sementara pada data real count tim berjumlah 176 suara sah, hal yang berbeda justru terjadi pada data model D-hasil Kecamatan yang hanya berjumlah 100 suara sah.
Kasus yang lain terjadi di wilayah Kecamatan elpaputih, dimana terjadi mobilisasi pemilih yang datang dari Desa atau wilaya Kabupaten lain, dengan alasan administrasi kemudian dibolehkan menggunakan DPK, menurut laporan PTPS, Kasus ini terjadi di TPS 02 Dusun Huse Desa Sanahu Kecamatan Elpaputih, Sebanyak 29 orang pemilih yang ber KTP Maluku tengah di mobilisasi untuk mencoblos Partai dan caleg tertentu, dan mendapatkan surat suara hingga ke tingkat Kabupaten.
Saat ditanyakan saksi PKS di Pleno rekapitulasi di tingkat Kabupaten, KPUD berdalih bahwa Kecamatan Elpaputih sedang terjadi masalah administrasi kependudukan karena berkaitan dengan tapal batas antara Kabupaten Maluku tengah dan Kabupaten SBB, Tanggapan Bawaslu SBB juga terkesan mendukung dalih dari KPUD SBB bahwa masalah tersebut sudah di selesaikan di tingkat PPS karena seharusnya pemilih tersebut masuk pada daftar DPTb dan bukan DPK.
Dalih tersebut justeru terbantahkan dengan model D hasil Kecamatan Elpaputih tingkat Kabupaten/Kota yang di sodorkan PPK Kecamatan Elpaputih kepada para saksi yang tetap mencantumkan 29 orang tersebut masuk dalam DPK.
Hal ini tentu bertentangan dengan pasal 4 PKPU no 8 tahun 2018 tentang penyusunan daftar pemilih di dalam negeri dalam penyelenggaraan pemilihan umum angka 1 dan 2 huruf (d) yang berbunyi
“Untuk dapat menggunakan hak memilih, Warga Negara Indonesia harus terdaftar sebagai pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam Undang-Undang. (2) Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: berdomisili di wilayah administratif Pemilih yang dibuktikan dengan KTP elektronik.
Pemilih dengan katagori DPK juga telah diatur dalam PKPU Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilu dan Sistem Informasi Data Pemilih.
Kasus lainnya terjadi di Kecamatan Amalatu untuk semua PPS Desa yang berada di wilayah PPK Kecamatan, Mulai dari masalah prosedur dan admistrasi serta tindak pidana Pemilu yang berkaitan dengan penggunan DPK dan DPTb yang tidak sesuai dengan peruntukannya, Model C-6 yang dibagikan bukan kepada identitas yang tertera pada undangan pemberitahuan tersebut, Bahkan orang yang sudah wafat tapi undngannya digunakan untuk mencoblos calon tertentu, Belum lagi cadangan sisa 2% dan sisa surat suara yang di salah gunakan, Serta masalah kode etik penyelenggra dimana terdapat pengarahan dari atas untuk mengamankan caleg dan partai terentu, serta indikasi jual beli suara yang melibatkan penyelenggra, Caleg dan partai tertentu.
Waktu penyelnggaraan pleno untuk kecamatan Amalatu diatur sedemikian rupa agar bisa terhindar dari deadline 10 hari pengajuan PSU. Bahkan lampiran berita acara keberatan dan kejadian khusus saksi PKS yang mengemukan fakta dan kejadian khusus yang terjadi lingkup PPK Amalatu yang di ajukan oleh saksi PKS untuk di tandatangin PPK sampai dengan saat ini sengaja di hilangkan dan belum di berikan kepada saksi PKS.
Puncak dari rentatan masalah tersebut adalah penggunaan Sirekap oleh petugas pemilu mulai dari KPPS dan PPK yang belum jelas betul. Begitu pula aturan mainnya.
Potensi kecurangan akan muncul ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan di sistem komputer Sirekap dan formulir C-1.
Bagaimana kalau ternyata jumlah suara di sistem komputer dan di formulir C-1 berbeda? Mana yang dipakai?
Di sinilah sumber permasalahan dan kecurangan yang paling crusial.
Sirekap yang tidak mukhtahir dan memiliki akurasi yang rendah tersebut sangat rawan disalahgunakan dan terjadi transaksi yang mengakibatkan kekisruhan Pemilu saat ini, tidak hanya berdampak pada hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tetapi juga terahadap Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi/DPD dan DPR RI.
Sirekap dengan segala keterbatasannya telah membuka ruang bagi caleg dan partai yang suaranya rendah bisa melambung tinggi dan ketika perbedaan suara antar calon atau Partai sangat tipis yang membutuhkan “suara tambahan” bisa di UP hanya dengan melakukan perubahan C1 Plano dan di uplod kembali ke sirekap sesuai dengan selera pihak yang melakukan order.
Yang jelas rangakain pelanggaran dan kecurangan di atas hanyalah contoh di beberapa tempat yang terendus, Hal ini jelas menegaskan adanya indikasi yang mengarah pada TSM yang tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, namun “didesain secara sengaja” oleh calon atau parpol tertentu dan melibatkan penyelenggara pemilu secara terstruktur, sistematis dan masif untuk menghadang caleg dan parpol tertentu jelang konstalasi Pilkada SBB 2024.
Potret diatas juga telah menggambarkan kepada kita jika pemilu di Indonesia merupakan pemilu yang bermasalah.
Pemilihan Umum sebagai salah satu alat demokrasi telah terciderai dengan maraknya isu pemilu yang curang. Padahal pemilu merupakan salah satu bentuk penyerahan kedaulatan rakyat terhadap kekuasaan.
Pelaksanaan pemilu seharusnya bisa berjalan sesuai dengan aturan hukum rule of law.
Ahirnya, Bawaslu di harapakan dapat menjadi lembaga yang bukan hanya sebagai lembaga kalkulator yang tugasnya hanya meligitimasi angka-angka model D-hasil PPK yang di sodorkan oleh PPK dan KPUD, tetapi lebih dari itu adalah dapat membuktikan peran dan wawenangnya menjaga Pemilu bersih dan eksistensi strategisnya mengawal pemilu yang berintegritas bagi kemajuan bangsa. Terutama dalam mengajudkasi sengketa Pemilu dan mengawal hasil temuan dan rekomendasi kepada KPUD.
Pelaksanaan pemilu tanpa hadirnya pengawasan secara struktural dan fungsional yang kokoh berpotensi besar akan menimbulkan konfilk politik yang tidak berkesudahan. Selain itu, pesta demokrasi yang berbiaya tinggi, tetapi hanya akan menghasilkan pemimpin yang legalitas dan legitimasinya diragukan serta menimbulkan arena berkompetisi yang tidak sehat dan fair dan merugikan peserta pemilu yang lain, terutama bagi mereka yang bukan incumbent dan bukan partai politik besar.
Padahal sejatinya, Pemilu itu harus berjalan dengan baik. Baik itu secara prosedural, konstitusional dan substansial agar melahirkan pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Pemimpin amanah yang mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan.
Memang sistem demokrasi kita masih membutuhkan perbaikan dan pembenahan, Situasi yang kita hadapi saat ini memang membutuhkan komitmen bersama terutama bagi lembaga yang diberikan otoritas oleh Negera untuk mengawas dan menyelenggrakan Pemilihan Umum, Butuh kedewasaan dan niat yang tulus dari kita semua untuk terus menggelorakan konsolidasi demokrasi yang beradab dan bersih.
Maka, Atas nama keadilan dan kebenaran, Berdasarkan data dan bukti yang dimiliki, PKS telah menyiapakan tim dan bantuan hukum yang akan mengawal dan mengajukan gugatan sengketa hasil dan dugaan pelanggran Pemilu kepada lembaga dan peradilan hukum yang lebih berkompeten sebagai langkah hukum guna menjamin hak-hak konstitusi setiap warga Negara.
MENANG dengan cara Terhormat, Kalah dengan cara Terhormat!!***