KABARTERKINI.NEWS– Sejak Menteri Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang penetapan PSBB di wilayah Kota Ambon dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, namun sampai saat ini belum di tindaklanjuti.
Fakta terkini sebagiamana dihimpun, Walikota Ambon, Richard Louhenappesy belum mengeluarkan Peraturan Walikota Ambon sebagai instrumen yuridis pelaksana teknis untuk melaksanakan kebijakan pemerintah pusat sebagaimana mestinya.
Terlebih sang Walikota tidak segera mencabut Peraturan Walikota Ambon Nomor : 16 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM), Aktivitas Usaha dan Moda Transportasi Dalam Penanganan Covid-19 di Kota Ambon, yang secara teknis didasarkan kepada Peraturan Gubernur Maluku No. 15 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Pergerakan Orang dan Moda Transportasi Dalam Penanganan Covid-19 dipulau Ambon.
Paparan tersebut diatas disampaikan, pakar hukum tatanegara Dr. Fachri Bachmid kepada wartawan, Selasa (16/06).
Menurutnya, secara hukum Peraturan Walikota Ambon No. 16/2020 telah kehilangan mandat yuridis dan pijakan legitimasinya, sebab Pemerintah Pusat melalui Menteri Kesehatan RI telah menetapkan dan memberlakukan PSBB di Kota Ambon.
“Sehingga rujukan hukum yang dipakai adalah “Beleeid” Menteri Kesehatan yang secara legalistik mulai berlaku sejak tanggal 9 juni 2020 lalu, artinya segala pranata hukum yang akan dan hendak dibangun adalah dalam konteks “Legal Terms.”
“Adalah pelaksanaan PSBB, bukan Pembatasan yang lain yang tidak sejalan dengan kaidah normatif sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang kekarantinaan kesehatan, mestinya Peraturan Walikota Ambon No. 16/2020 itu udah harus dan wajib dicabut pada tanggal 9 juni 2020 itu, karena telah kehilangan daya berlaku dan daya ikat kepada publik,” tambah Bachmid menjelaskan.
Lanjut dikatakan, berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 01.07/MENKES/358/2020 Tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar Di Wilayah Kota Ambon Provinsi Maluku Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, bertanggal 09 Juni 2020 mestinya secara hukum segera setelah SK Menkes ditetapkan/dikeluarkan.
“Maka Walikota/Pemerintah Daerah wajib menindaklanjuti dan melaksanakannya, hal ini sejalan dan sesuai dengan ketentuan pasal 12 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Rumusan norma ketentuan pasal 12 mengatur Dalam hal pembatasan sosial berskala besar telah ditetapkan oleh Menteri, Pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk secara konsisten mendorong dan mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat kepada masyarakat.
“Dengan demikian ini merupakan kewajiban Pemerintah Daerah/Walikota untuk segera menindaklanjuti produk keputusan Menteri sebagaimana mestinya, termasuk mengeluarkan Peraturan Walikota yang lebih teknis sebagai tindak lanjut sesuai kebutuhan dan kepentingan kota ambon,ini harus dibaca dalam konteks yang bersifat segera urgent karena sesuai ketentuan pasal 8 Permenkes No. 9/2020,” jelasnya.
Kuasa hukum Jokowi-Amin ini merincikan, menteri menetapkan PSBB untuk wilayah Provinsi/kabupaten/kota tertentu dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan penetapan.
Jadi semua prosudur ini harus dilihat dan dimaknai dalam konteks keadaan kedaruratan sebagaimana diatur dalam UU RI No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang sifatnya segera, politik hukumnya mengandung sifat dan karakter kesegeraan serta kemendesakan, jadi jangan dimaknai seperti prosudur pembentukan perundang-undangan yang normal tanpa batas waktu.
Dalam pembentukan peraturan perundang undangan semacam ini tentunya tetap perbedoman pada UU RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Tetapi sifat keadaan objektif yang menyangkut dengan keadaan kedaruratan jadi pola dan mekanisme pembahasan jangan tidak boleh menggunakan metode pembentukan yang konvensional yang memakan waktu yang lama dan berbelit, Pemkot harus punya tim ahli perundang-undangan yang memadai dan harus bekerja dalam irama keadaan mendesak/darurat seperti ini.
Jika dilihat secara normatif, dalam SK Menkes tentang PSBB Kota Ambon disebutkan secara jelas dalam diktum kelima bahwa Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
“Walikota wajib bersikap responsif atas kebijakan hukum yang semestinya dilakukan sesuai kaidah serta prinsip otonomi daerah, dan ketika SK Menteri terkait PSBB telah dikeluarkan maka semua kebijakan “beleeid” Walikota/Daerah yang sudah dikeluarkan sebelumnya dihentikan dan disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat.
Sehingga ada keseragaman dan konsistensi dalam menerapkan kebijakan hukum dalam makna PSBB ini, ini sudah sangat terlambat dalam melaksanakan Keputusan Menteri Kesehatan ini, jangan sampai Pemerintah Kota Ambon (Pemkot) sebagai subjek hukum berpotensi digugat dipengadilan oleh warga negara atas dasar Hak Atas Kesehatan “Human Right to Health” yang telah dijamin dalam konstitusi karena dikualifisir abai/lalai dalam melaksanakan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi warga negara.
“Karena itu merupakan sarana perlawanan secara konstitusional yang dapat dilakukan oleh warga negara,jadi harus hati-hati dan bijak dalam mengelola pemerintahan,” pungkas Pakar Hukum Tata Negara
Universitas Muslim Indonesia Makassar itu.**** RUL