KABARTERKINI.NEWS – Pakar Hukum tata negara Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. berkesempatan menjadi pembicara dalam kegiatan Seminar Hukum Nasional yang bertajuk Meningkatkan Profesionalitas Advokat Sebagai Officium Nobile Untuk Mendukung Kinerja Pemerintah.
Ruang ilmiah yang menghadirkan putra Maluku sebagai pembicara itu dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan. Tepatnya di Aula Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan.
Infomrasi yang diterima dari Fahri, seminar nasional tersebut menghadirkan 3 narasumber utama yaitu Unsur Dewan Pembina Peradi Prof. Dr. Otto Hasibuan,SH.,MM. kemudian Pakar Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. dan dari unsur Pemorov Sumsel yaitu H. Ardani,SH.,MH selaku Kabiro Hukum.
Dalam kesempatan itu, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. Memaparkan panjang lembar perihal problematika yang merugikan organisasi advokat karena adanya Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 73/KMA/HK.01/01/2015 terkait pengangkatan seorang Advokat.
Menurut Fahri Bachmid, SK MA No. 73 tersebut tidak ada keharusan hukum serta mandat undang-undang yang mendasari serta memerintahkannya, jadi jika dilihat dari optik teori perundang-undangan, maka tidak ada legitimasi yuridisnya sama sekali, apalagi cuman diatur dalam bentuk surat administrasi biasa, sehingga sulit secara hukum untuk setiap orang ingin men challenge kepengadilan, dan tidak cukup tersedia kanal penyelesaian sebagai upaya ajudikasi kepengadilan, dan sejujurnya ini adalah sesuatu “Beleeid” hukum yang kurang sehat dalam sebuah negara hukum yang demokratis.
”SK MA No. 73 itu secara faktual merugikan Peradi sebagai organ Negara yaitu dalam rumpun independent state organ yang juga melaksanakan fungsi negara, yang mana Peradi mempunyai 8 kewenangan sesuai undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Jadi itu yang harus dicabut oleh MA. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 itu sendiri sudah cukup mengakomodir kebutuhan hukum masyarakat,” ujar Fahri
Misalkan, lanjut ia menjelaskan, advokat dalam melakukan pendampingan, memberikan bantuan hukum secara Cuma-cuma, pelayanan hukum kepada masyarakat, akses to justice kepada pencari keadilan, semua itu bisa di atasi oleh Peradi. Secara organisatoris Peradi kan punya perangkat-perangkat itu sampai ke daerah-daerah, sampai ke pelosok-pelosok gitu.
Disebutkan Fahri, SKMA No 73 yang dikeluarkan MA tersebut tidak memiliki bentuk hukum yang jelas, ia bukan peraturan yang bersifat “Regeling”. SKMA No. 73 itu hanya “Beleeid” hukum pimpinan Mahkamah Agung RI, sehingga menurut Fahri SKMA No.73 itu tidak memiliki daya ikat secara yuridis,dan tidak mempunyai implikasi hukum apapun dari segi muatan materi peraturan perundang-undangan, oleh karena ia tidak tergolong dalam hirarkis peraturan perundang-perundangan sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan yang telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011.
“Jadi secara yuridis sebenarnya bermasalah SKMA No. 73 itu, sebab ia bukan bentuk hukum yang secara hirarkis disebutkan dalam UU RI No. 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga secara nyata-nyata bertentangan dengan norma UU RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Jadi itu yang barangkali harus direvisi,” paparnya.
Idealnya Ketua MA RI segera mencabut SKMA No.73/KMA/HK.01/01/2015,dan menjadi kewajiban konstitusional kepada MA untuk mempedomani Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XVII/ 2018. yang telah mengatur dengan cukup baik tentang tugas dan kewenangan Peradi, artinya Putusan MK itu telah mengatur eksistensi Peradi dengan segala atribusi kewenangannya secara proporsional,dan karena putusan MK tersebut memberikan mandat serta rekomendasi konstitusional kepada semua pihak yang berkepentingan,baik MA RI, Pemerintah,maupun Organisasi Advokat itu sendiri.
Sehingga dengan demikian, lanjut Fahri, kebijakan hukum yang dikeluarkan dalam bentuk apapun, menjadi wajib berpedoman pada spirit konstitusional sebagaimana telah digariskan oleh MK dalam putusan itu,
Secara ketatanegaraan, MK berulang kali telah berbicara dalam berbagai putusan sekaitan dengan kedudukan Peradi sebagai wadah tunggal, artinya Peradi sebagai satu-satunya wadah Organisasi Advokat berdasarkan Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, dan eksistensi Peradi berkali kali telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, yang salah satunya adalah Putusan MK No. 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006 yang menyatakan bahwa “Organisasi Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara” dan terahir MK kembali putuskan serta tegaskan eksistensi yuridis serta konstitusional Peradi dalam Putusan MK No. 35/PUU-XVII/2018, sehingga secara terminologi hukum putusan “a quo” merupakan “vaste jurisprudentie” dan mempunyai derajat
“Expressive verbis” untuk dilaksanakan dan mengikat untuk semua pihak, hal tersebut wajib ditaati sebagai konsekwensi supremasi konstitusi. *** RISKA