Opini, KABARTERKINI.NEWA – Perdebatan antara Ibnu Rusyd dan Al-Gazali itu, pada tataran konsep yang tujuannya adalah ingin menghidupkan nalar kritis dan mengajak orang untuk berpikir kritis. Mereka saling beradu argumentasi bukan untuk melihat siapa yang lebih pintar atau mempertahan kebenaran apalagi untuk mencari popularitas, tetapi mereka saling mengkritisi untuk memperbaiki yang salah dan meluruskan sesuatu yang keliru. Sabtu, (05/01).
Tetapi di sisi lain, mereka sejalan dan sepaham. Missalnya, dalam konsep pemikiran mereka ingin agar ada semacam kritik atas kritik. Tetapi yang membangun agar menjadi wahana untuk membentuk sikap kritis di kalangan umat. kemudian mereka memiliki pandangan yang sama bahwa potensi yang ada pada masing-masing manusia itu saling berbeda. Maka tidak ada alternatif lain kecuali meberi mereka sesuatu yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki.
Tak jauh berbeda dengan Al-Gazali dan Ibnu Rusyd, Bung Karno dan Bung Hatta Saling berdialek saling beradu argemen mengenai Ideologi Bangsa Indonesia yang waktu itu mau di Proklamasikan. Bung Karno dengan kelompok nasionalisnya menginginkan Idiologi bangsa kita adalah Pancasila. Sementara Bung Hatta dan kelompok islamisnya menginginkan dasar negara Indonesia itu harus bersyariat islam.
Mereka saling beradu argumentasi dengan dalil-dalil yang jelas yang konstruktif dan Produktif. Kemudian kedua kelompok sama-sama bersepakat untuk Pancasila dijadilan sebagai dasar Negara Indonesia.
Dalam kitab Al-Qishtash Al-Mustaqim, menyubutkan bahwa manusia terbagi menjadi tiga jenis, pertama umum, yaitu mereka yang tidak berilmu dan tergolong ahl-salamah. Kedua khusus, yaitu mereka kaum yang cerdik dan cendikia, ketiga mereka yang tergolong ahl al-jidal atau Provokator terhadap orang-orang di atas mereka di ajarkan untuk menangani dan beroprasi agar tidak menimbulkan konflik dan perbedaan pandangan antara mereka.
kaum yang pertama mengajak mereka dengan mau idhah (nasehat), sebagai mana mengajak kaum kedua untuk hikmah (kebijaksanaan) dan mengajak kaum ketiga dengan jidal (Berdebat). Ketiga metode di itu sebenarnya sudah terangkum dalam ayat ayat al-quraan yang artinya “serulah manusia ke jalan tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta bantulah mereka dengan cara yang baik”.
Saya berhayal, seandainya elite kita baik itu di kalang partai politik maupun kelompok agama memiliki pikiran-pikiran dan melakukan dialog seperti di atas yakin sungguh bangsa kita akan maju, generasi kita akan cerdas-cerdas.
Tetapi yang terjadi akhir-akhir ini elite kita mempertontonkan perdebatan dan dialog di ruang publik yang tidak etis, tidak mendidik dan saling serang memyerang antara kelompok yang satu dengan yang lain hanya untuk mempertahankan kebenaran kelompok mereka. alhasil, generasi tak produktif dan rakyat terjadi.
Berdialektikalah dengan etis di ruang publik dengan menggunakan narasi-narasi yang produktif untuk mengajarkan generasi berpikir kritis dan mengganggu nalar pikir kaum milenialis untuk berpikir yang sistematis agar kemudian rakyat kita tetap optimis dan bangsa kita menjadi bangsa yang harmonis.
Pikiran adalah makanan untuk bagi ruh. sebagaimana buah biji-bijian adalah makanan untuk tubuh. Terkadang apa yang menajdi makanan bagi seseorang, ternyata menjadi racun mematikan bagi yang lain. Begitu juga pikiran, bisa jadi ia merupakan keniscayaan bagi seseorang tapi terkadang memicu kerusakan pada yang lain. ** Editor | Sofyan