KABARTERKINI.NEWS– Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (PERPU).
Hal ini disampaikan Presiden Jokowi setelah mendapatkan desakan dari sejumlah pihak karena UU KPK hasil revisi dianggapkan melemahkan KPK sebagai lembaga super power.
Menyikapi hal ini, pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. kepada media ini, Selasa (08/10) mengatakan, Presiden dapat menerbitkan Perppu apabila ada keadaan darurat.
Menurut Fahri, keadaan darurat atau ‘state of emergency’ secara konseptual keadaan darurat didasarkan atas doktrin yang sudah dikenal sejak lama, yaitu prinsip adanya keperluan atau prinsip ‘necessity’ yang mengakui hak setiap negara yang berdaulat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dan mempertahankan integritas negara.
Mantan kuasa hukum Jokowi-Amin ini menyebutkan, hukum tata negara subjektif atau ‘staatsnoodrecht’dalam arti subjektif adalah hak, yaitu hak negara untuk bertindak dalam keadaan bahaya atau darurat dengan cara menyimpang dari ketentuan undang-undang, dan bahkan apabila memang diperlukan, menyimpang dari UUD.
“Nah secara doktrin/ajaran hukum tata negara darurat seperti tersebut diatas dapat di kualifisir berdasarkan prinsip ‘actual threats’? ataukah sekurang-kurangnya bahaya yang secara potensial sunguh-sunguh mengancam komunitas kehidupan bersama ‘potential threats’?? hal yang demikian ini penting untuk diidentifisir sesuai kondisi objektif berdasarkan ajaran hukum/doktrin hukum tata negara darurat,” ujar Fahri.
Menurut Fahri, secara konstitusional pranata penetapan Perpu adalah berdasar pada tahapan terjadinya keadaan yang genting.
Keadaan yang genting tersebut, katanya memaksa presiden untuk mengambil tindakan secepatnya atau adanya kebutuhan yang mengharuskan “reasonable neccesity”, sebab jika peraturan yang diperlukan untuk menangani situasi genting seperti itu menunggu mekanisme yang lazim pada DPR memerlukan waktu panjang dan lama ‘limited time’, tindakan hukum yang diambil adalah menyimpang dari prosudur baku dalam tertib penyusunan UU normal sesuai UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut Fahri, Presiden diberi kewenangan konstitusional untuk menerbitkan Perpu dalam situasi yang demikian, namun ketentuan pasal 22 UUD NRI Tahun 1945 hanya menekankan pada anasir-anasir kegentingan yang memaksa, yaitu element ‘reasonable neccesity’ dan serta ‘limited time’ dan tidak menekankan pada sifat dan derajat bahayanya ancaman “dangerous threat”, dalam konteks keadaan darurat ‘legal reasoning’ untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah harus adanya sifat bahaya “dangerous threat” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, dan disertai oleh kebutuhan “reasonable neccesity” serta kegentingan waktu “limid time”sebagaimana diatur dalam pasal 22.
“Nah berdasar pada kondisi diatas, dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai element masyarakat agar presiden dapat mengambil kebijakan mengeluarkan Perpu adalah tidak sejalan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme, dan berpotensi membahayakan lembaga-lembaga demokrasi serta mengancam kewibawaan presiden sebagai “The Sovereing Power”atau presiden selaku “The Sovereing Executif” berdasarkan logika hukum tata negara darurat,” papar putra Asal kabupaten Buru, Provinsi Maluku tersebut.
Fahri mengatakan berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi‘ratio decidendi’dalam putusan nomor :138/PUU-VII/2009, tanggal 8 Februari 2010 ada tiga syarat konstitusional sebagai ukuran keadaan “Kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menerbitkkan Perppu.
Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai;
Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU dengan prosudur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Menurut Fahri, MK berpendapat bahwa pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh ketentuan pasal 12 UUD NRI Tahun 1945, bahwa memang benar keadaan bahaya sebagaimana dimaksud dalam norma pasal 12 dapat menyebabkan proses pembentukan UU secara biasa tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud oleh rezim ketentuan pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Fahri menjelaskan instrumen pembentukan Perppu memang ditangan presiden dan berdasar pada penilaian subjektif presiden, namun bukan berarti hal tersebut bahwa secara absolut merupakan suatu kewenangan tampa batasan ‘retriksi yuridis’.
Tapi penilaian subjektif presiden sebagai ‘head of state’ mutlak didasarkan kepada keadaan objektif dengan batasan konstitusional yaitu pada tiga syarat sebagai parameter adanya keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana telah ditentukan oleh putusan MK.
Artinya, Fahri menjelaskan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan presiden untuk mengeluarkan Perppu agar lebih didasarkan pada kondisi objektif bangsa dan negara yang tercermin dalam konsiderans menimbang dari Perppu yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan pada pertimbangan ‘imanijer’.
Dengan demikian, kata Fahri, maka pertanyaan hipotetis yang dapat diajukan dalam konteks desakan pihak-pihak tertentu saat ini kepada presiden untuk mengeluarkan Perppu terhadap hasil revisi UU No. 30/2002 tentang KPK merupakan sebuah kebutuhan hukum yang mempunyai derajat serta sifat kemendesakan sehingga dapat dikualifisir sebagai syarat materil kegentingan yang memaksa,? dan apakah kondisi saat ini telah sejalan dengan jiwa Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 yang menegaskan tiga syarat konstitusional untuk presiden mengeluarkan Perppu,?
“Dari pertanyaan tersebut dan jika dikaitkan dengan kondisi objektif bangsa dan negara saat ini,maka dapat disimpulkan bahwa langkah mengeluarkan Perppu adalah tidak memenuhi syarat materil konstitusional, dengan demikian Presiden tidak dapat mengunakan kewenangan eksklusivnya berdasarkan pasal 22 dalam mengeluarkan regulasi mendesak “Noodverordeningsrecht” sebab tidak sejalan dengan prinsip ‘state emergency’,” tukas Fahri.
Dalam situasi tersebut, Fahri mengatakan langkah yang paling elok dan tepat adalah mengajukan upaya konstitusional dengan judicial review atas UU KPK yang baru disahkan itu ke MK.
Jika nanti UU itu telah diundangkan dalam lembaran negara sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan presiden hendaknya menunggu putusan MK atas uji meteril itu agar semunya menjadi jelas dan tertib dalam tatanan penyelengaraan kekuasaan pemerintahan negara dan demi tegaknya demokrasi konstitusional yang kita anut.*** RUL