KABARTERKINI.NEWS– Kasus dugaan kriminalisasi Achmad AR AMJ naik ke persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda pada Rabu 28 Agustus 2019 dengan agenda sidang pembacaan dakwaan.
Achmad AR AMJ adalah masyarakat sipil di Kota Tepian samarinda, kalimantan timur yang bertempat tinggal Jalan S Parman Gg 4 RT 029 Kelurahan Temindung Permai Kecamatan Sungai Pinang.
Abdul Rahim Ketua Advokasi Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Samarinda menilai kasus Achmad jelas di kriminalisasi demi sebuah keuntungan pribadi bagi para mafia yang memiliki kepentingan untuk mengambil yang bukanlah miliknya untk memperkaya dirinya. Achmad di anggap melakukan tindak pidana perbuatan melawan hukum dalam hal pemalsuan terdakwa di duga melanggar pasal 263 ayat 1 dan 2. Padahal kejadian tidak demikian.
Rahim mengatakan melihat dari kasus yang sejak lama di ikuti Permahi perkembangan demi kepastian hukum kami menduga ada kekeliruan jika di dalam dakwaan JPU menerapkan pasal 263 ayat 1 atau 2 tentang pemalsuan.
Karena penerapan pasal tersebut ada yang di rugikan atas pemalsuan yang di lakukan namun di dalam kasus ini legal standing pelapor itu tak ada atau tidak bersesuian dengan apa yang sudah di dakwakan.
“Bahkan untuk di terapkan sesuai dakwaan jaksa penuntut umum dari Kejari Samarinda itu tidak relevan,” ungkapnya, senin (9/9/2019).
Rahim mengatakan pihaknya bersama rekan-rekan mahasiswa hukum baik dari Samarinda atau pun dari Balikpapan yang tergabung di permahi sempat mendatangi pak achmad ketika beliau menajadi tahanan polda kalimantan timur, kami datang karna pangilan hati karna pak achmad mengirim sebuah surat dengan tulisan tanggan langsung dan memposisikan dirinya untk di bantu dan di tolong sehingga menjadikan kasus ini menjadi penelitian karena sempat prapradilan di Pengadilan Negeri Samarinda.
Secara hakikatnya hak dan martabat seseorang warga negara Indonesia di lindungi oleh hukum demi memberikan rasa keadilan untuk semua, equaliti before the law. semua orang sama di hadapan hukum tidak terkecuali untuk pak achmad ar amj yg kami duga di kriminalisasi.
“Saya akan berkordinasi dengan institusi negara seperti Komnas HAM dan Komisi Yudisial untuk kasus ini, dalam mengawal kasus ini,” jelasnya.
Rahim menjelaskan ada pun tugas dan jaksa penuntut umum dan kepolisian dalam hal ini sudah di atur di dalam undang – undang (UU).
Untuk itu Penuntut Umum (Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim) sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 6 huruf b jo.
Pasal 13, Pasal 14, serta Pasal 143 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 angka 6 huruf b jo. Pasal 13 KUHAP. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pasal 143 ayat (1) KUHAP, Penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
Demikian pula dengan Kepolisian dalam suatu tindak pidana, Polisi bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan sesuai ketentuan Pasal 13 jo. Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian), yang berbunyi memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Kepolisian, Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, kata Rahim tindakan oknum Polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik yang diduga melanggar kode etik Polri dan berpotensi dapat merugikan orang lain.
Selain itu, berdasarkan keadaan tersebut, Pasal 14 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri Kode Etik) berbunyi sebagai berikut:
Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka; merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum; dan merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan; dan seterusnya.
“Apabila oknum Polisi dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik melanggar ketentuan Pasal 14 di atas, maka dapat dikenakan Sanksi Pelanggaran Kode Etik sesuai Pasal 20 Perkapolri,” tegas Rahim.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan oknum Kepolisian tersebut dikenakan sanksi pidana apabila dapat dibuktikan melalui ketentuan Pasal 422 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi, seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
“Ius suum cuique Tribuerae” berikan keadilan bagi semua orang yang berhak. Fiat justitia ruat caelum “Hendaklah keadilan di tegakan walupun langit akan runtuh,” tutup dia. *** TIM