KABARTERKINI.NEWS– Pertemuan Komnas HAM Perwakilan Maluku, DPRD kabupaten dan Pemerintah Kabupaten Seram Bagain Barat (SBB) dalam rangka mencari solusi penyelesaian permasalahan kasus Limboro Desa Luhu Kecamatan Huamual belum meruncing pada tahap eksekusi ganti rugi. Pertemuan ketiga instansi itu digelar Rabu (21/08/2019).
Sejak dibongkarnya 16 rumah warga untuk pembangunan jalan lingkar Seram Huamual terhitung sudah dua tahun berjalan.
Karena tidak kunjung disikapi, DPRD kabupaten SBB menuding Pemerintah Daerah tidak serius untuk menyelesaikan permasalahan kasus Limboro.
Ketidak mampuan tersebut sehingga permasalahan itu sampai pada pihak komnas HAM, padahal ini hanya hal biasa yang bisa diselesaikan dengan cara mediasi antara pemkab SBB dengan pihak warga limboro yang merasa dirugikan itu.
Pemkab SBB dinilai lambat dan tidak ada perhatian serius untuk menyelesaikan masalah dalam hal ini ganti rugi kepada warga yang rumahnya tergusur akibat pembangunan infrastruktur jalan.
Jauh-jauh hari, DPRD sudah merekomendasi kepada pemkab SBB untuk selesaikan ganti rugi yang diinginkan warga limboro yang merasa dirugikan itu, asalkan lewat ketentuan dan undang – undang yang berlaku sehingga DPRD SBB lewat rekomendasinya meminta Pemkab SBB memasukan anggaran ganti rugi dalam anggaran perubahan untuk dibahas menjadi APBD Murni 2018.
Namun tidak dilakukan oleh Pemkab SBB sehingga DPRD SBB menilai Pemkab SBB tidak serius selesaikan masalah di Limboro.
“Sudah hampir dua tahun kasus limboro belum tuntas, ini artinya pemkab SBB tidak serius untuk selesaikan, padahal pergusuran jalan sendiri dilakukan oleh Pemkab SBB disaat ada masalah tidak diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang ada,” ungkap Risno Judin, anggota DPRD SBB.
Risno Judin, menyatakan, seharusnya ada ganti rugi yang dilakukan Pemkab SBB kepada warga limboro yang rumahnya tergusur.
“Kita gabungan Komisi DPRD SBB sudah rekomendasikan, tapi tidak dimasukan oleh Pemkab SBB pada anggaran perubahan 2018. Sehingga kasus limboro ini terkatung – katung dan. Itikad baik pemkab SBB untuk selesaikan masalab Limboro dipertanyakan,” ungkap Risno.
Ditambahkannya, pemerintah daerah telah membentuk tim. Namun tim bentukan pemkab cenderung menggunakan cara-cara yang tidak elegan dalam menyelesaikan persoalan ini.
Salah satu alasan tak masuk akal ialah dari PLh Setda SBB bahwa ada yang suka rela membongkar rumahnya. Jadi diendus suka-suka saja mau ganti rugi atau tidak.
“Kalau ada sukarela seharusnya tidak ada tuntutan dari masyarakat sampai dengan pengadilan apalagi keputusan pengadilan ini keputusan yang menyingkat yang sifatnya ingkrah wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk ganti rugi,” kata Risno
Lanjutnya, waktu itu disepakati untuk di tuangkan di APBD perubahan cuma dalam peoses pembahasannya pemerintah daerah diminta untuk menyiapkan hitungan matematikanya biaya ganti rugi dengan kondisi ril rumah ada.
“Analisanya berapa yang ganti rugi supaya tidak mubazir karena sesuai dengan kebutuhan, apalagi yang kita dengar di masyarakat tidak perlu ganti utuh-utuh sebagiannya saja sudah cukup atau Seperdua saja dari pada tidak ada ganti rugi sama sekali jadi tidak ada alasan untuk tidak di ganti karena itu di jamin oleh UU,” tegas Risno.
Perihal kendala eksekusi ganti rugi, menurutnya, semua berpulang ke Pemkab SBB. DPRD sudah selesai melalui badan anggaran untuk di anggarkan. Namun tidak dilakukan oleh Pemkab SBB sehingga tidak ada anggaran ganti rugi di tahun 2019.
“Saat ini, kami semua DPRD paksakan dan setujui untuk anggaran ganti rugi dimasukan dalam anggaran perubahan untuk disepakati oleh Banggar agar APBD 2020 ada tercantum pembayaran ganti rugi kepada warga limboro yang rumahnya terkena gusur, intinya sebelum masukan ke APBD ke anggaran dihitungan dulu berapa kerugian masyarakat,” pungkasnya.*** FIT