KABARTERKINI.NEWS – Tidak diketahui secara pasti sejak kapan hubungan erat kedua negeri adat itu dimulai . Tapi yang pasti diketahui adalah pentahapan dan makna dalam proses ritual angkat pela dilangsungkan.
Ini tentang sejarah Pela Lumapelu dan Sohuwe di kabupaten Saka Mese Nusa.
Berdasarkan penuturan sejarah para petuah di kedua negeri, bahwa angkat pela dimulai dengan persahabatan beberapa keluarga Lumahpelu dan Sohuwe.
Mereka saling mengunjungi sampai menetap beberapa lama.
Pada suatu ketika terjadi permusuhan (kejadian) antara orang Lumahpelu dan orang Lasapatai (Lasahata) sampai terjadi pembunuhan.
Dalam peristiwa ini orang sohuwe membantu orang lumahpelu.
Dengan adanya bantuan dari orang Sohuwe pada saat itu, makin mempererat persahabatan antara keduanya.
Pada suatu waktu salah satu keluarga Sohuwe berkunjung ke Lumahpelu. Anggota dari keluarga Sohuwe ini adalah seorang gadis remaja yang belum mendapat haid.
Dengan tidak disangka pada suatu waktu keduanya mendapat haid pertama secara bersamaan.
Menurut adat kebiasaan tempo dulu anak gadis tersebut (yang mendapat haid) harus dirahasiakan dan di ungsikan keluar kampung dan di tempatkan disatu tempat yang disebut “tikosune” (semacam pengasingan).
Disana para gadis tersebut dilayani seorang inang (pengasuh) selama 3 malam dan sesudah 3 malam baru dia di perkenankan kembali kerumah ke rumah atau kampung. Proses ini dilakukan kepada kedua gadis tersebut.
Akan tetapi dengan tidak disangka seorang inang pengasuh mendapati mereka “saling menjilat darah haid mereka.”
Peristiwa ini sangat mengemparkan penduduk kedua desa. Selanjutnya tua-tua adat kedua desa mengambil keputusan untuk sebaiknya kedua desa angkat pela dan pela ini adalah pela dara manusia, selanjutnya zaman beputar terus, perkembangan demi perkembangan silih berganti.
Hingga pada suatu waktu terjadi pembunuhan terhadap seseorang, kemudian dimakamkan dilokasi pepohonan mayang.
Pelaku pembunuhan adalah orang Lumahpelu. Mayat tersebut dimakamkam di 1 km dari desa sekarang bagian selatan tempatnya dibawah pohon mayang / enau.
Akibat kejadian pembunuham itu, beberapa jam kemudian terjadi bencana alam yaitu topan, hujan lebat dan banjir yang hebat sehingga terjadi erosi sekitar jasad dari korban tersebut, dan air pun keluar dari pohon mayang / enau dan terjadi air yang sekarang disebut Nawaya yang berasal dari Nawa.
Sekitar tahun 1956/1957 terjadi kematian berantai atau beruntun di Lumahpelu, dan bencana banjir terus menerus, ternyata yang dibunuh itu orang sohuwe.
Oleh para petuah negeri di Lumahpelu khususnya raja lumahpelu pada waktu itu bapak Julius Silaya dan bapak pendeta D. Z. Hukom memutuskan untuk membuat pergumulan dan panas pela.
Panas pela pertama kali dilakukan pada tahun 1958 di Lumahpelu dan pada tahun 1963 dilakukan panas pela kedua di negri Sohuwe.
Selanjutnya tahun 1968 panas pela ketiga di negri Lumahpelu, tahun 1973 panas pela ke 4 negri Sohuwe, 1978 panas pela ke 5 di negri Lumahpelu, tahun 1983 panas pela ke 6 di negri Sohuwe.
Tahun 1988 panas pela ke 7 negri Lumahpelu, tahun 1993 panas pela ke 8 dinegri Sohuwe, tahun 1998 panas pela ke 9 dinegri Lumahpelu tahun 2003 panas pela ke 10 di negri Sohuwe.
Tahun 2009 panas pela ke 11 di negri Lumahpelu, tahun 2014 panas pela ke 12 dinegri sohuwe.
Dari panas pela ini ditetapkan setiap 5 tahun sekali dilaksanakan panas pela.
Tujuannya untuk membina mental anak-anak kedua desa, meningkatkan persaudaraan dan menjauhkan perbuatan-perbuatan tercela.
Sumpah Kedua Negeri Lumapelu dan Sohuwe
Para pemimpin, para tokoh masyarakat, dan warga kedua negri lumahpelu ( yakaineneli, tomolepuuti, matomalima matoma Siwa) dan souwehuwey ( nunuwe manasaite kara, Uleila). Duduk dan berdiri berkeliling melihat benda- benda tajam dan mendengar sumpah ini :
- Tidak boleh saling mengawini
- Tidak boleh menggunakan benda-benda tajam dihadapan pela
- Tidak boleh bertengkar dan berkelahi
- Tidak boleh menggunakan kata-kata kotor di hadapan pela
- Bila bercanda harus dalam batas-batas tertentu
- Jika berpapasan harus saling bertegur sapa
- Saling membantu jika di perlukan.
Demi Tuhan pencipta langit dan bumi, jikalau besok dan lusa para pemimpin tokoh masyarakat kedua negri melangkahinya, maka kedua masyarakat negri akan mengalami malapetaka/musibah alam berupa Hujan, angin puting beliung dan banjir.
Dan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran akan berujung pada kematian, baik itu sementara dalam keadaan berdiri, duduk, tidur, makan bahkan tersentuh sekalipun, kematian akan mengikutinya entah itu dia berada di timur, barat, selatan maupun utara.
Hal ini tidak akan terjadi apabila sumpah ini tidak di langgar.
Semuanya akan baik jika masyarakat kedua negeri hidup berdampingan ibarat kuning dan minyak kelapa bahkan apabila ikatan ini terus dijaga dan dilestarikan, maka berkat akan melimpah untuk kedua negeri. Negeri Lumahpelu dan negeri Solohuwe akan berkembang biak melebihi negeri – negeri lain.*** FITRA SUNETH