KASUS BNI 46 MERUPAKAN PENYELEWENGAN KETENTUAN PERBANKAN DAN TINDAK PIDANA BANK (TIPIBANK)

Opini dan Artikel Pendidikan

OLEH: JULIUS R. LATUMAERISSA

KABARTERKINI.NEWS– Bank sebagai lembaga intermediasi sering digunakan sebagai sarana dan/atau sasaran untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu secara melawan hukum yang pada akhirnya dapat mengakibatkan bank mengalami permasalahan struktural. Perbuatan tersebut dapat dilakukan baik oleh Komisaris, Direksi, pegawai, pihak terafiliasi, pemilik/pemegang saham bank, atau pihak lain sehingga dapat menyebabkan turunnya tingkat kepercayaan masyarakat (distrust) terhadap sistem perbankan.

Peranan perbankan dalam perekonomian di Indonesia sangat besar. Sebagai lembaga intermediasi, perbankan mampu mengatur dan mengelola lalu lintas dan transaksi keuangan secara cepat dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Oleh karena itu jumlah dana yang dikelola oleh perbankan tidak sedikit, resiko yang dihadapi juga sangat besar, baik resiko hukum, likuiditas, managemen dan risiko lainnya yang sudah dijelaskan di atas.

Dari sisi hukum resiko yang dihadapi adalah pelanggaran terjadinya tindak pidana di bidang perbankan oleh para bankir dan stakeholder terkait. Resiko ini jelas ada mengingat secara keseluruhan uang yang dititipkan nasabah sangat besar. Berbagai kasus penyimpangan, penyalahgunaan dana nasabah banyak terjadi, seperti kasus Bank BNI 46 KCU Ambon yang akan diproses secara hukum.

Peranan yang begitu besar ternyata berdampak pada munculnya berbagai penyimpangan baik yang dilakukan oleh pejabat bank yang memiliki otoritas tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh saudara FY yang mengakibatkan raibnya dana debitur dengan jumlah besar kurang lebih 124 milyar. Namun Hal ini perlu dibuktikan melalui suatu proses hukum yang dilaksanakan secara jujur dan taransparan.

Kondisi ini tentu membutuhkan satu penanganan yang baik, komprehensif, cepat dan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Ini semua dapat terwujud apabila peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perbankan dapat dilaksanakan dengan baik oleh semua pihak penegakan hukum.

Namun melihat fenomena yang terjadi pada Bank BNI 46 KCU Ambon menunjukan adanya penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) dalam bentuk pelanggaran administratif dan tindak pidana bank (TIPIBANK). Peranan Bank BNI yang sangat strategis juga tidak terlepas dari berbagai tindakan yang dapat merugikan kepercayaan masyarakat terhadap BNI khusunya BNI KCU Ambon, sebagai lembaga yang menjalankan jasa keuangan dan non-keuangan.

Setiap tindakan yang bertentangan dengan ketentuan atau regulasi perbankan disebut sebagai penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) dimana modus operandinya sangat variatif.

Dalam banyak kasus ebih dari 90% penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) di lakukan melalui kerja sama orang luar dan orang dalam bank. Uniknya, orang dalam tersebut terdiri dari para young urban profesional (YUPPIES), dengan ciri-ciri yang sama, yaitu muda, pintar, gesit, workaholic, ambisius, punya posisi baik, punya penghasilan, dan memiliki angan-angan tinggi.

Apakah kebijakan CASH BACK pengucuran itu tepat, apakah portofolio likuiditas Bank BNI KCU Ambon hanya bisa ditingkatkan untuk mencapai target harus dengan CASH BACK yang akhirnya akibat kesalahan tata kelola dan kalkulasi sehingga berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat.

Jika jawabannya tidak tepat, maka pertanyaannya adalah apakah tindakan tersebut merupakan penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) sebagai akibat tindakan diskresi yang diambil oleh Farra selaku Kepala Marketing Bank BNI KCU Ambon dan kemana saja aliran kucuran dana tersebut, serta bagaimana mengejarnya dan siapa saja yang bisa dijerat dengan hukum.

Dalam kasus ini saya melihat bahwa tindakan atau keputusan Farra memperlihatkan secara nyata adanya penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya sebagai pejabat tertentu yang menyebabkan Bank BNI KCU Ambon kehilangan dana milik masyarakat sebesar Rp. puluhan atau ratusan milyar sebagaimana yang diberitakan yang menurut asumsi saya hal ini dilakukan oleh Farra tidak sendirian tetapi ada pihak lain yang terlibat dan ikut menikmati hasil dari PKP ini.

Kasus Bank BNI KCU Ambon seharusnya dicermati dari dua sisi, pertama tentang ada tidaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Farra para pihak BNI KCU Ambon sehingga BNI dirugikan sebesar 58,9 atau 124 milyar rupiah, dan kalau ini terjadi maka berarti telah terjadi tindak pidana bank (TIPIBANK).

Disini penegak hukum (penyidik) seharusnya mempelajari apakah kebijakan CASH BACK tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undang berkaitan dengan layanan nasabah prima (primary customer) yaitu POJ K No.57; yang Melakukan Layanan Nasabah Prima; dan sejumlah regulasi perbankan yang terkait seperti POJK.03/2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank Umum PBI No.11/19/PBI/2009 tanggal 4 Juni 2009 tentang Sertifikasi Manajemen Risiko Bagi Pengurus dan Pejabat Bank Umum; PBI No.14/12/PBI/2012 tanggal 15 Oktober 2012 tentang Laporan Kantor Pusat Bank Umum; PBI No.13/8/PBI/2011 tanggal 4 Februari 2011 tentang Laporan Harian Bank Umum; POJK No.5/POJK.03/2016 tanggal 27 Januari 2016 tentang Rencana Bisnis Bank; POJK No.18/POJK.07/2018 tanggal 10 September 2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan; POJK No.1/POJK.07/2013 tanggal 26 Juli 2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan; POJK No.38/POJK.03/2016 tanggal 7 Desember 2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum; dan POJK No.18/POJK.03/2016 tanggal 22 Maret 2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Apakah prosedur kebijakan CASH BACK tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perbankan yang ada, atau apakah Farra selaku Pejabat yang mengambil kebijakan tersebut memang berwenang untuk melakukannya, dan jika memang iya maka apakah kebijakan tersebut sudah mendapat persetujuan pimpinan di atas-nya.? Masalah kedua yang harus segera diusut adalah masalah aliran dana yang konon dikatakan raib pada Bank BNI KCU Ambon yang terjadi akibat penyalah gunaan wewenang dan pelanggran regulasi maka aliran dana yang keluar dari Bank BNI KCU Ambon ke berbagai pihak siapapun itu, sepanjang pihak tersebut mengetahui atau patut menduga bahwa dana dari BNI KCU Ambon tersebut tidak dapat dipertangguungjawabkan, maka mereka yang menerima (menikmati) dana yang merupakan bagian dari Rp.124 milyar adalah pelaku penyelewengan ketentuan perbankan (PKP) baik administratif maupun TIPIBANK.

PERAN OJK SEBAGAI LEMBAGA PENGAWAS

Dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan bank, OJK dapat menemukan Penyimpangan Ketentuan Perbankan (PKP), baik yang bersifat administratif maupun yang memiliki indikasi Tindak Pidana Perbankan (TIPIBANK). Penanganan PKP yang berindikasi dugaan tipibank perlu dilakukan dengan hati-hati guna menghindari dampak yang mampu mempengaruhi reputasi bank dan demi terciptanya sistem perbankan yang sehat guna mendukung stabilitas sistem keuangan.

Informasi PKP yang berindikasi tipibank dapat berasal dari hasil pengawasan bank dan/atau dari pihak lain. Dalam hal diperlukan penanganan lebih lanjut dengan investigasi, maka akan dilakukan investigasi terhadap pihak terafiliasi dengan bank dan/atau pihak lain yang menjadikan bank sebagai sarana dan/atau sasarannya.

OJK juga memiliki kewenangan untuk memberikan sanksi administratif kepada bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

OJK berdasarkan Undang-undang OJK memiliki salah satu kewenangan dari ena, kewenangan yang ada adalah Right to Supervise yaitu kewenangan untuk mengawasi meliputi: On-site supervision yaitu pengawasan bank secara langsung terdiri dari pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran keadaan keuangan bank dan untuk memantau tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan yang berlaku, serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank; dan Off-site supervision atau pengawasan tidak langsung yaitu pengawasan melalui alat pemantauan seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya.

Berkaitan dengan tugas pengawasan dari OJK maka sesuai ketentuang regulasi yang ada maka ada dua pendekatan yang digunakan oleh lembaga ini untuk melaksanakan pengawasan kepada operasionaldan aktivitas bank umum yaitu:

Compliance Based Supervision atau pengawasan berdasarkan kepatuhan yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential Banking Principle).

Pengawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan Risiko; dan Risk Based Supervision atau Pengawasan Berdasarkan Risiko yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan pengawasan yang sesuai dan tepat waktu.

Untuk itu guna mencapai tujuan pengawasan di atas maka OJK perlu melakukan investigasi dengan menggunakan beberapa metodologi investigasi untuk mengetahui penyimpangan yang terjadi, antara lain:

I). Melakukan Penelitian yang terkait dengan dokumen pendukung dan informasi Awal dalam identifikasi TIPIBANK;

II). Klarifikasi / Wawancara dengan pihak Bank atau pihak terkait lainnya;

III). Pemeriksaan on the spot atas objek pemeriksaan dan

IV). Pengumpulan dokumen pendukung tambahan dugaan tipibank.

Jenis PKP yang berindikasi tipibank berdasarkan Pasal 46 s.d. 50A UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 Tahun 1998 antara lain:

I). Pencatatan palsu, menghilangkan atau tidak melakukan pencatatan dalam pembukuan, dan mengaburkan, mengubah, menyembunyikan, pencatatan dalam pembukuan;

II). Penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin dari OJK; dan

III). Kewajiban bank untuk menyampaikan keterangan dan penjelasan mengenai usahanyadan kewajibannya penyimpan kepada OJK. Dari hasil investigasi tersebut apabila ditemukan adanya dugaan tipibank yang dilakukan oleh pihak terafiliasi dan/atau pihak lain, maka selanjutnya dilimpahkan kepada satuan kerja OJK yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan.***

Julius R Latumaerissa adalah seorang akademisi dengan spesialisasi keilmuan Perbankan Internasional (International Banking) dan juga Konsultan Perencanaan Daerahl dan Keuangan Publik

Isi diluar tanggung jawab redaksi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *