KAJIAN BRANDING NEGERI BUPOLO, PROVINSI MALUKU

Opini dan Artikel Pendidikan

ULASAN MODEL USAHA PENINGKATAN APBD TAHUN ABSTRAK

KABARTERKINI.NEWS – Semenjak berdirinya pemerintahan, kurang lebih dua puluh tahun dalam massa empat periodesasi, telah membawa dampak yang begitu besar terhadap kabupaten Pulau Buru, Provinsi Maluku.

Perubahan dari dalam sisi penguatan administratif yang juga telah mengembalikan semangat anak-anak muda daerah untuk menghibahkan diri mereka dalam upaya pembangun daerah.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas pembangunan daerah masih jauh dari kata stabil (merata untuk rakyat) dari segala aspek. Baik aspek hukum, aspek ekonomi, pembangunan infrastruktur, sampai pada masalah pendidikan.

Tentunya pula ada jalan keluar dari setiap ketimpangan-ketimpangan yang terjadi sekarang dapat diperoleh dengan memenej secara baik pastinya,  terjadinya sebuah kepastian keseimbangan proses pembangun dari aspek-aspek tadi, apabila generasi atau anak daerah mampu mengimplementasikan cita-cita dari terbentuknya peradaban baru masyarakat pulau buru I ini.

Barangkali hal ini pun juga tidak terlepas dari peran pemerintah untuk merekonstruksi kembali masalah-maslah fundamental dari beberapa aspek tersebut. Baru setelah itu dapat menjadi barometer atas apa yang dulunya telah dilakukan dengan bersikeras mengupayakan pemekaran kabupaten brur I, sehingga kewenangan untuk mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. dari pemekaaran kabupaten buru pada tanggal 12 Oktober 1999, secara de jure kabupaten buru terbentuk,  pula buru I keluar dari dan mempunya wilayah otonomisasi sendiri.

Pemerintahan yang handal pro terhadap kepentingan rakyat, adalah pemerintahan yang dekat tentunya dengan rakyat. Boleh dibilang pemerintahan kabupaten buru I masih jauh dari hal tersebut dan perlu membiasakan diri bermesraan dengan rakyat, pasalnya rakyat seperti kehilangan tempat dalam posisi kepentingan daerah.

Padahal peningkatan pendapatan asli daerah tidak lari dari rakyat dan sumber kekayaan alam setempat itu serta dikejar oleh alasan pembangun, baik itu infrastruktur, ekonomi, pendidikan, yang ujungnya alasan pemenuhan kebutuhan rakyat. Senada dengan hal itu maka pemerintah daerah harus mengerahkan seluruh kemampuan mengelola dan memiliki sendiri pendapatan pemenuhan kekiatan-kegiatan daerah.

Menjadi fundamental bagi kebutuhan darah, PAD terlebihnya harus didapatkan dengan modal menggali sumber kekayaan daerah sebagai kekuatan menjalankan roda kepentingan daerah tersebut, namun tidak harus mensuksesi kantong para pemerintah lantas mengorbankan kaum proletariat daerah.

Orientasi pajak dari retribusi terkecil misalnya pangkalan ojek, rumah makan atau tempat berdagang (UKM), dermaga kapal dan lain-lain sampai pada pajak bumi dan bangunan (PBB), itu semua merupakan bagian terpenting dari peninkatan PAD yang dimiliki daerah.

Lantas kemana semua hal itu, terjadi dan terus bergulir devisi dikerenakan pembangunan, alokasi APBD sepertinya sedikit tak menjamin kesejahteraaan. Misalnya saja yang terjadi di kabupaten buru I ini, pembahasan paripurna tahun anggaran 2019 kemarin mendapatkan hasil APBD sebanyak kurang lebih 1,12 triliun Rp dari hasil akhir paripurna tersebut. Nah apa sebenarnya program unggulan daerah sehingga mengucurkan dana sebesar itu ?

Pada tahun anggaran 2017 daerah mengalami devisit sebesar 10 miliar Rp dari anggran APBD tahun anggaran 2016, pembagunan apa sebagai indikasi devisitnya anggaran daerah sebesar itu?

Jelas kita ketahui bersama bahwa sampai sekarang dari tahun-tahun sebelumnya tidak ada reklamsi pembagunan yang dihabiskan tepat pada tahun anggaran APBD itu, misalnya saja pantai merah putih (PMP), taman Slburuj Namlea.

Sebenarnya berlakunya desentralisasi memudahkan kewenangan pemerintah setempat dalam menjalankan tugas pengabdian mereka kepada rakyat, indikasi ini tentunya merujuk kepada pemahaman pemerintah yang melihat secara dekat bagaimana keberadaan dan kehidupan masyarakatnya.

Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat sangat paham pentinya meletakkan kembali otonom daerah bagi tiap-tiap daerah yang ada, dan membuang jauh pemahaman sentralisasi kekuasaan pusat.

Pulau buru ternyata mempunyai potensi nyata dari kekayaan alam yang ada. Abstraknya potensi ini disebabkan oleh minimnya muatan memproduksi kekayaan lokal yang kemungkinan besar dapat menjadi pesaing terhadap produk impor dari wilayah ekstra dataran buru I.

Menjadi ulasan tahun abstrak sebab gairah menjadikan sesuatu yang ada menjadi berkembang bukan hanya sekedar sebagai kebiasaan atau bahan konsumsi belaka, kini untuk memperkenalkan pulau yang dulunya dikenal sebagai tempat pembuangan tahanan politik (tapol), terlebihnya menghadirkan kelayakan produk hasil bumi pulau ini dengan beragam identitas yang berbeda-beda dari tiap-tiap produk yang di hasilkan.

Identitas adalah afirmasi dalam menarik simpati masyarakat luar pada umumnya dan pada khususnya masyarakat yang ada di pulau buru ini, dan dalam kajian meningkatkan APBD kiranya tidak salah menjadikan branding lokal sebagai usaha peningkatan APBD tersebut. Untuk itulah kemudian mari kita mencoba melihat kembali perkembangan yang cukup pesat dari negeri retemena barasehe ini.

Tidak berbeda dengan daerah-daerah lainnya, buru I mampu menampilkan aneka ragam warisan yang tidak sekedar determinisme melainkan bentuk dari pola pikir yang maju dalam mengembangkan serta memperkenalkan buru I ini kepada masyarakat luar, serta menanam mainset masyarakat terhadap negeri yang selain dikenal dengan sapaan jalinan persaudaraan “kai wai” juga dikenal dengan semboyan perjuangan retemena barasehe (maju terus pantang mundur).

Dipahami betul bahwa kabupaten buru I dikenal dengan sumber daya alam yang tidak dapat diperbahrui, diantaranya terhitung dari sisi geografis tanah yang mendukung. Misalnya pada dataran waiapo yang dikenal dengan lumbung pangan lokal yang menghasilkan padi dengan bulir-bulir unggulan yang tak kalah jauh dari produksi padi hasil dataran jawa.

Pun juga tidak kala penting adanya beribu-ribu hektar komponen penyusun kebutuhan masyrakat lainnya adalah terbentangnya hamparan pohon minyak kayu putih khas pulau buru I ini. Dalam upaya menjadikan kabupaten buru I sebagai sentral perdagangan untuk mengekspor produk hasil bumi bupolo, dengan menjadikan kabupaten-kabupaten terdekat sebagai komuditi konsumtif membawa kondisi ketergantungan bagian selatan, timur,barat atas bagian utara.

Dapat saya katakan demikian sebab pendayagunaan hasil alam kabupaten buru I jika terealisasi dengan baik oleh pemerintahan sekarang dalam dua komuditas hasil alam ini maka ketergantungan masyarakat luar relatif besar dan pesat, hal ini terjadi diperkirakan atas kondisi geografis wilayah yang berdekatan. Tidak menutupi kemungkinan dari ke-dua komuditas hasil alam ini dan tidak bisa dipungkiri akan membentuk usaha peningkatan APBD kabupaten buru I, dan sekaligus merupakan bagian membentuk stabilitas kesejahteraan masyarakat dari pangan lokal “padi dan minyak kayu putih”.

Sebagai kabupaten yang terbilang cukup tua dalam penanaman mutu pembagunan kiranya kabupaten ini perlu untuk mempunyai brand sebagai sarana transformasi pengenalan kabupaten buru I, pasalnya ke-dua komuditas alam ini mempunyai peranan penting untuk dijadikan sebagai identitas serta branding yang melekat pada istilah  kabupaten buru I kala ini. Oleh karena pentingnya hal tersebut, pemerintah perlu mengeluarkan regulasi daerah untuk pengelolaan sumber daya alam yang ada, dengan merujuk beberapa perusahaan industri lokal dalam memanfaatkan serta menjaga potensi sumber daya alam tersebut.

Konon kabarnya, pengelolaan minyak kayu putih hasil bumi bupolo ini telah dikuasai oleh penduduk asing (tionghoa) yang telah lama menempati negeri “retemena barasehe”. Pertanyaannya apakah masyarakat asli yang ada tidak mampu mengelola potensi alam pulau bersejarah yang termasuk salah satu pulau dalam lisan pidatonya presiden pertama bung karno kala itu?

Jawabannya pasti ada !

Namun pemerintah sendiri yang tidak memberikan ruang dan peluang masyarakat untuk mengelolanya saja. Nah inilah sebab dari ketidakberpihaknya pemerintahan terhadap masyarakat, yang kemudian untuk menjemput sebuah kota baru dengan menebarkan identitas kota atas sumber dayanya tidaklah berjalan dengan baik. Proses menghilangkan mainset masyarakat akan adanya kekayaan alam memukau yang juga dapat menjadi unsur pendapatan belanja daerah kabupaten buru I dipandang dari pengelolaan serta penguatan kualitas branding.

Jika hal ini dapat terjawab dengan penilitian dari asumsi ini, pemerintah untuk menciptakan hal baru dan sebagai identitas pembeda kabupaten buru I dengan kabupaten-kabupaten terdekat lainnya. Maka branding atau identitas (merek) pembeda kota yang tepat menurut hemat saya bagi kabupaten buru I bisa merujuk kepada “minyak kayu putih dan padi dataran waiapo.”

Branding kabupaten buru I “minyak kayu putih retemena barasehe” atau “beras burebar”

Adapun tak kala menariknya lagi adalah pesona wisata alam bahari yang terletak dikecamatan liliali lebih tepatnya terletak pantai didesa jikumerasa dan satunya lagi lagi terletak di air terjun teluk bara kecamatan airbuaya yang ke-duanya merupakan destinasi wisata terpublikasi. Sedangkan masih banyak lagi pesona alam pulau buru ini yang masuk dalam kategori tampat wisata bahari, hanya saja belum ada sebuah kunjungan resmi untuk mempublikasi tempat wisata alam bahari tersebut. Sebut saja pada dataran kaieli dengan anugrah gugusan dua pulau yang berdekatan dengan panorama laut yang masi alami nan sejuk untuk dikunjungi. Dari asumsi pengelolaan pariwisata terhadap pendapatan anggaran daerah yang cukup signifikan inilah, maka kemudian potensi pariwisata pun juga termasuk dalam deretan konsep branding yang menarik keterlibatan aktifitas sosial masyarakat yang sekaligus membarui pemandangan alam dengan tidak menggantikan secara totalitas alam yang ada.

Mengingat potensi wisata yang dapat menarik simpati masyarakat lokal maupun mancanegara maka masyarakat dengan inisiatif atas regulasi pemerintah membuat sebuah bisnis kuliner yang tersiasati oleh adanya panorama alam pada tempat wisata tersebut, yang oleh saya bukan sekedar tempat saja disajiakn sebagai wisata namun kuliner khas daerah sesuai tempat dimana wisata itu berada dapat pula menjadi wisata kuliner.

Tentunya dari proses penciptaan lapangan pekerjaan inilah maksud dan tujuan diwujudnyatakanNya sebagai faktor-faktor yang masuk dalam deretan rekayasa “Anggaran Pendapatan Belanja Daerah” (APBD) kabupaten buru I. Membuat lebel-lebel yang mencirikan kondisi sosial serta budaya masyarakat pada merek-merek dagangan lokal asli buatan masyrakat pun perlu sebagai bentuk menarik simpati wisatawan lokal maupun mancanegara.

dengan tidak melepas pisahkan peranan teknologi turut dalam upaya mempublikasi daerah-daerah tempat wisata adalah langkah tercepat dan terampuh hingga merambat ke seluruh nusantara pada umumnya dan pulau buru secara kolektif pada khususnya.

Trobosan baru perlu disampaikan dari kajian kusiar saya mengenai branding, bahwa menjadikan pendidkan sebagai konsep branding dengan desain dari corak-corak keterampilan manusia yang beragam mensiasati kondisi apatis dari generasi yang jauh dari pembahasan problematika ummat modern saat ini, menjadi generasi yang solid dengan rumusan “gencar”  tertransformasi menjadi manusia-manusia cerdas asal bumi bupolo ini.**

Oleh : Abdullah Fatsey
Kader Hmi Cabang Namlea
Ketua BEM Fakultas Tehnik Universitas Iqra Buru

(Isi diluar tanggug jawab redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *