Opini, KABARTERKINI.NEWS – Tak dapat dipungkiri, memasuki pesta demokrasi 2019 ini, kerap terngiang menyerbu kuping, dengan susunan kalimat yang sangat teratur, keluar membasahi bibir, dari para politisi. Ada pula terlintas di mata, banyak poster, spanduk, baleho, terpampang rapi di setiap emperan jalan. Setiap kota, maupun pelosok desa.
Sebuah tanda: Para politisi kita ingin meraih keuntungan yang maksimal di tengah masyarakat. Janji suci para politisi bertabur meriah. Beragam diksi berhamburan. Tak hanya di sudut jalan, di sosial media pun demikian. Bahkan, di tempat yang paling sunyi pun masih memajang poster—menaburi janji.
Ada yang berjanji ingin merawat pendidikan, ada berkhidmat ingin menuntas persoalan ekonomi. Bahkan ada yang ingin menuntaskan dari semua sisi: Ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain sebagainya. Mereka ingin “melahap” habis derita masyarakat. Sederahananya: Upaya menuntas akar kemiskinan.
Janji para politisi seakan ingin “menjual prodak” tanpa angka nominal. Lima tahun, waktu yang cukup menguras tenaga—bagi politisi, pemilihan umum adalah momentum yang paling berharga—mungkin ia merupakan kesempatan yang sangat sakral.
Masih banyak pemain lama yang telah diberi kesempatan duduk di kursi empuk, ingin kembali bertanding—tak puas dalam lima tahun kemarin, dengan tema yang paling manis: “Lanjutkan”. Sementara, pemain baru dengan diksi yang paling unik:”Pembaharuan”. Sedangkan, pemain lama yang tak pernah diberi mandat dari masyarakat pun optimis bertanding kembali. Mereka pura-pura lupa. Janji pemain lama yang dipercayakan belum terbayar lunas, sementara pemain baru, hadir untuk menumpuk janji.
Indahnya sebuah jabatan—adalah menjadi satu kebanggaan tersendiri bagi yang memenangkan pertarungan—menduduki kursi empuk menjadi marwah tersendiri. Sahabat, kolega, keluarga, dan para fans pun ramai-ramai ikut senang. Pesona sebuah jabatan, bukan soal cari sensasi, tapi sebuah perhelatan untuk menentukan nasib masa depan politisi. Jika, tak dapat jabatan, karir akan usai di penguhujung senja.
Politik terlalu suci, jika ia berpihak pada kepentingan umat. Sesuai amanat konsistusi. Selain dari pada itu, “Politik adalah lumpur-lumpur kotor” seperti potongan kalimat manis Soe Hok Gie dalam “Catatan Seorang Demonstran”.
Politisi masa kini, pasti belajar sejarah. Misalnya dalam lahirnya partai utama di republik ini—Indische Partij (Partai Hindia) hadir lebih utama di bumi Hindia Belanda (Nusantara), sejak 25 Desember 1912. Aktornya tiga serangkai, E.F.E Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara.
Tiga tokoh republik yang dikatakan Soekarno adalah; mentor politik Indonesia—mereka memihak untuk masyarakat. Dan, menjadikan Indische Partij sebagai alat propaganda untuk mengusir penjajah.
Politisi kita pasti paham, memahami ideologi yang terkonstruksi oleh tri mentor politik republik itu. Bukan berjanji atas nama masyarakat, demi kepentingan partai, atau kelompok kecil.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), di Fakultas Ushuluddin dan Dakwah (Usdak), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. (***)