HARI IBU DAN POLITISASI EMAK-EMAK

Opini dan Artikel Pendidikan

OPINI, KABARTERKINI.NEWS – Tepatnya tanggal 16 Desember 1959, sesuai Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959, Hari Ibu diresmikan Ir. Sukarno pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempoean Indonesia (KPI).  Melihat realitas pengakuan publik terhadap Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember, merupakan hal yang lumrah karena publik selalu mengidentikannya dengan KPI untuk pertama kalinya di Yogyakarta pada tahun 1928. Sehingga peringatan Hari Ibu saat ini adalah yang ke-90.

Menariknya, bila dihitung berdasarkan tahun 1959 sejak diresmikannya Hari Ibu oleh Bung Karno, maka sepatutnya Hari Ibu yang resmi baru ke-59. Sementara, keputusan untuk menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu, justeru baru terjadi pada tahun 1938 di Bandung, saat KPI yang ke-III. Seyogyanya Hari Ibu yang kita peringati adalah yang ke-80, oleh KPI dan penerusnya. Atau yang ke-59, oleh seluruh warga negara, sebab sifatnya memang nasional, sesuai Keputusan Presiden tersebut.

Seperti halnya situasi terbalik, antara menyepakati Pancasila yang lahir 1 Juni 1945 dan meyakini bahwa Pancasila sudah lahir sekitar tahun pembuangan Bung Karno ke Ende, Flores, sejak 1934. Kurang lebih setahun setelah Marhaenisme disepakati sebagai asas Partindo, tahun 1933. Suatu hal yang saya kira tidak terlalu penting untuk disoalkan, yang lebih penting adalah refleksi terhadap latar belakang lahirnya Hari Ibu itu sendiri. Terutama respon moral persatuan pasca Sumpah Pemoeda, yang berfokus pada perempuan pribumi. Bukan defleksi yang pada akhirnya mengerucutkan makna dan peran Perempuan menjadi hanya di atas Kasur dan di dalam Dapur.

Bias Pesan dan Peran

Awalnya, wadah yang menjadi tonggak Hari Ibu ini bernama “Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia”, disingkat PPPI. Kemudian berganti nama menjadi “Perikatan Perkoempoelan Isteri Indonesia” (PPII), tahun 1929. Pada tahun 1930, di Surabaya, Kongres PPII memutuskan bahwa Kongres berasaskan kebangsaan Indonesia, menjunjung kewanitaan, meneguhkn imannya”. Lalu pada tahun 1935, PPII berganti nama menjadi Kongres Perempoean Indonesia seperti di jelaskan sebelumnya. Dan tahun 1946, mengganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), sampai saat ini.

Dugaan saya, ada semacam penyederhanaan makna terhadap Wanita dan Perempuan, kedua kata ini dianggap sama saja pada waktu itu. Atau sebaliknya, malah disengajakan untuk tidak berjarak antara makna Isteri dan Wanita dalam pergantian nama wadahnya. Perempuan berarti yang memiliki kemampuan, sedangkan Wanita adalah yang bisa ditata atau diatur. Bukan bermaksud mengkritik KOWANI, tetapi praktik Hari Ibu yang hari ini ramai disampaikan di media sosial oleh generasi muda, ataupun para calon legislatif (Caleg), seolah hanya sebatas ucapan ramah-tamah belaka. Tidak punya pesan ideologis yang mengakar kuat sesuai motif awal gerakan itu lahir, serta cerita dibalik penghargaan Bung Karno kepada Pahlawan Perempuan selain R.A. Kartini yang telah ditetapkan harinya sendiri di masa Pemerintahan beliau.

Memang sejumlah isu terkait kekerasan Perempuan dan Anak, terus diangkat KOWANI. Begitu juga dengan organisai lainnya yang membidangi Perempuan, kerap mengangkat masalah serupa. Padahal, semangat persatuan pasca Sumpah Pemuda itu jelas adalah semangat pembebasan dari cengkraman kapitalisme Belanda. Bahkan awalnya karena lebih dominan bagi Perempuan pribumi, akhirnya sebagian aktivis haluan Feminisme Eropa pada saat itu tersinggung lantaran tidak dilibatkan.

Jadi kata Perempuan dan Wanita, Isteri dan “Bojo”, masing-masing memberi pesan dalam pemaknaan dan peranan dalam ruang sosialnya tersendiri. Konsepsi itu mengantarkan saya untuk tetap mendialektikan penggunaan terminologi, sebab setiap Bahasa memang punya kekuatan ideologis. Sebagaimana penegasan Subcomandante Marcos bahwa kata adalah senjata, maka Emak-emak pun harus dievaluasi sebagai sebuah jargon politik. Apakah ia hanya sebentuk keluhan karena harga bumbu dapur yang melambung, ataukah terus mempertanyakan mengapa harga Sembilan Bahan Pokok (Sembako) terus naik.

Gerakan Politik Kasur dan Dapur

Bukan sebatas mempolitisasi para Pengguna Dapur karena jumlahnya yang memang fantastis berdasarkan usia matang sesuai rilisan Badan Pusat Statistik (BPS), melainkan menjadikan Dapur sebagai ruang belajar, dengan kata lain membangun kesadaran kritis dari dalam Dapur. Supaya Emak-emak tidak sebatas masa aksi yang masal aksi, tetapi masa aksi yang mengerti bahwa Dapur yang sehat didukung oleh berbagai aspek. Pengguna Dapur yang melawan, sebab Dapur bukan kandang bagi Emak-emak. Membahasakan konten politik dari dalam Dapur adalah keniscayaan, bukankah hasil penelitian dari beberapa Ilmuwan juga menyimpulkan bahwa kemampuan hitung Perempuan lebih baik dari Laki-laki. Bahkan di Maluku, rata-rata nyanyian lokal yang dijadikan bukti verbal tentang suatu persoalan, misalnya batas tanah dan hubungan kekerabatan, serta kepemimpinan, lebih banyak diingat dengan baik oleh kalangan Perempuan.

Politik Kasur pun tidak kalah hebat, banyak sudah kisah yang menjerat Pemimpin Hebat menjadi lembek dan tak berdaya cita lantaran godaan kasur. Atau sebaliknya, Revolusi justeru menemukan titik baliknya dari atas Kasur, lazimnya dibalik Pemimpin Hebat terdapat Perempuan Hebat. Penting ditegaskan, konotasi hebat bukan sebatas Laki-laki datang mengambil energi dari hubungan biologis semata lalu kembali berjuang, namun lebih dari itu. Perempuan menjadi lawan dialog yang baik, tentang kearifan terhadap keputusan yang akan diambil, tentu berdasarkan pertimbangan pemikiran yang baik, bukan sebatas perasaan, emosional, atau intrik kenyamanan dua batang tubuh belaka.

Perempuan bukan hanya dianggap sebagai pencair suasana, tapi memecah kebekuan dari kapitalisme yang kian merangsek ruang-ruang domestik. Perempuan juga berhak terhadap kata “Tidak” dan kata “Bukan”. Emak-emak bukan Mbok-mbok Pembantu yang manut tanpa protes terhadap keinginan majikan untuk mau makan apa hari ini, Emak-emak sejatinya adalah yang telah memahami harga Gas dan Minyak Tanah mempengaruhi hasil belajar Anak-anak mereka di Sekolah Dasar. Saya membayangkan andai Emak-emak itu membaca dengan teratur buku Bung Karno yang berjudul SARINAH, atau paling tidak Emak-emak itu diajarkan oleh para pelaku politik yang mengajak mereka terlibat aktif di kampanye pemenangan Pilpres supaya mengerti, mereka juga tertindas secara sistemik. Kalau kesadaran semacam ini tidak dibentuk kepada Emak-emak, maka Emak-emak hanya budak dari para politikus. Sebab, Emak-emak yang bergerak tanpa proses ideologisasi yang jelas, akan sulit membuat kapitalisme diretas.

Penjabaran Visi Hari Ibu

Menjadikan Ibu sebagai panutan tertinggi dalam rumah tangga kebangsaan, keindonesiaan, dan kemanusiaan”, demikian visi yang saya citakan. Pertama, sebagai Kebangsaan, kita dilahirkan dari hamparan Nusantara yang sama meskipun sangat Bhineka. Kedua, sebagai Negara, kita adalah Indonesia yang semangat persatuan Perempuannya menemukan formatnya di tahun sumpah pemuda, 1928. Ketiga, sebagai Kemanusiaan, kita adalah makhluk yang tetap membutuhkan rahim untuk menciptakan manusia baru.

Dari Ibu Aceh sampai dengan Ibu Papua, harus membeli sembako dengan harga yang sama. Anak-anak yang dilahirkan dari Ibu Aceh sampai Ibu Papua, harus dapat mengenyam pendidikan tinggi di daerahnya masing-masing dimana kualitas Perguruan Tinggi mereka mendekati kualitas dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada. Dari Ibu Aceh sampai Ibu Papua, harus mendapatkan tata rias kecantikan sesuai keindahan dan keunikan fisiologi manusia, tanpa perlu adanya standarisasi kecantikan nasional untuk harus berambut lurus, berkulit putih, dan hanya untuk melahirkan dan memasak. Ibu Aceh sampai Ibu Papua sejatinya adalah manifestasi kerahiman Ibu-ibu di seluruh dunia, karena rahim itu tetaplah sama dalam tubuh Perempuan.

“Ibu sebagai panutan tertinggi”, kalimat yang menggabungkan jenis kelamin biologia (Sex) dan jenis kelamin sosial (Gender) sekaligus, dalam sekali helaan nafas perjuangan. Entah sebatas Pilpres, ataukah akan berlanjut. Bukankah Ibu Megawati Soekarnoputri sudah sempat memberi contoh kepada kita, tentang dualitas peran Perempuan. Semoga gerakan politk Emak-emak merupakan titik balik dari gerakan menyatukan keresahan perempuan sejak 90 tahun yang lalu, dari peringatan Hari Ibu sejak 80 tahun yang lalu, dan dari nasionalisasi semangat perjuangan seluruh pahlawan Perempuan sejak 59 tahun lalu.***

Penulis : Arman Kalean, (Adalah Aktivis & Akademisi) CP | 0813 1766 8432

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *