Menanti Putusan Visioner MK: Gugatan Prabowo-Sandi Pada Pemilu 2019

Opini dan Artikel Pendidikan
Dr. Nasaruddin Umar, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Ambon

KABARTERKINI.NEWS– Persidangan pemeriksaan alat bukti dan keterangan para pihak Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU atas gugatan pasangan calon Prabowo-Sandi telah selesai, saatnya menunggu hasil Rapat Permusyawaratan Hakim atau RPH yang sedang berlangsung dan selanjutnya akan diputuskan pada hari Kamis tanggal 27 Juni 2019 siang.

Sejumlah opsi akan dipertimbangkan majelis hakim apakah gugatan tidak diterima, ditolak atau diterima. Satu sisi  publik telah disuguhkan suatu proses persidangan yang sangat terbuka,  adu argumentasi, dalil-dalil dan pemeriksaan saksi-saksi dan alat bukti secara adil, transparan, berimbang bahkan disiarkan secara langsung diberbagai media telivisi secara live sehingga masyarakat melihat langsung fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Namun disisi lain meskipun tahapan PHPU belum selesai,  sejumlah pihak justru secara dini berpendapat seolah-olah telah menyimpulkan bahwa perkara ini akan ditolak atau tidak terbukti. Seperti yang disampaikan sejumlah pihak seperti ahli hukum, advokat, politisi, maupun mantan hakim MK bahwa gugatan 02 atas sengketa PHPU telah game is over atau ada yang mengatakan bahwa telah selesai, tidak cukup bukti-bukti lemah, bahkan tidak terbukti, tidak relevan dan tidak signifikan. Padahal majellis hakim masih sedang melakukan musyawarah dan sedang menyusun argumentasi hukumnya.

Masyarakat seharusnya mendapat pencerahan, agar semua pihak memberikan kesempatan kepada hakim sebagai pemilik otoritas mutlak dalam memutus gugatan PHPU ini. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penggiringan opini atau upaya mobilisasi opini untuk kepentingan tertentu, dan penting menjaga kemurnian dan independensi putusan hakim.

Jika kita menelisik lebih jauh berbagai ketentuan baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan yang berkaitan sistem peradilan Makamah Konstitusi seperti UU MK, PMK, Yurisprudensi MK dan berbagai doktrin-doktrin ketatanegaraan kita yang kesemuanya merupakan sumber hukum formil dan materiil yang berlaku. Maka akhir dari proses persidangan di MK akan menimbulkan tafsiran dan persepsi yang beragam. Apakah opsinya tidak diterima,  diterima, atau ditolak.

Faktor pengaruh Putusan Hakim

Paling tidak ada 3 faktor utama yang akan menentukan sikap majelis hakim MK dalam mengambil keputusan yaitu kekuatan pembuktian, aliran/mashab hukum dan preferensi arah politik para hakim, sebab latar belakang hakim dan aliran pemikirannya sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan, dan banyak faktor lain yang mempengaruhi suasana kebatinan hakim itu sendiri.

Hakim hendaknya memikirkan konsekuensi putusan yang diambil, bahwa putusan hakim akan sangat berarti bagi kualitas demokrasi dan berbagai persoalan yang timbul pasca pemilu 2019, ada harapan besar putusan MK akan menjadi sarana pemersatu bangsa atau seperti yang diistilahkan Roscoe Pound bahwa salah satu fungsi hukum a tool of sosial engginering atau sebagai sarana rekayasa sosial. artinya putusan MK akan melahirkan pembaharuan di dalam masyarakat dan menjadi  alat integrasi di tengah keterbelahan masyarakat pasca pemilu kemarin.

Putusan MK harus punya visi, ada sikap yg berpijak dan komimen untuk mengakhiri keterbelahan antara pendukung 01 dan pendukung 02 yang sekaligus merepresentasikan visi dan paham kebangsaan, problem keumatan, sampai pada perarungan ideologi. Bahwa gugatan PHPU di MK bukan sekedar pertarungan Prabowo-Sandi dan Jokowi-Ma’ruf Amin tetapi juga merefresentasi gagasan kelompok perubahan dan pertarungan rakyat dan visi masa depan bangsa ini. 

Apakah gagasan visioner yang demikian hakim mampu membreakdown dalam putusannya. Bagaimana menyelamatkan bangsa ini dari berbagai keterbelahan dan perpecahan, sebab tidak mungkin opsi menolak seluruhnya atau menerima seluruhnya akan diterima masyarakat. sebab ada isyarat nampak jika sejak awal gugatan 02 akan ditolak seluruhnya maka sejak awal pada saat sidang perdana MK memiliki kesempatan untuk tidak menerima gugatan ini atau menolak perubahan gugatan permohonan Prabowo Sandi dari kuasa hukum dan dikuatkan melalui putusan sela tentang hal yang bersifat formil seperti kewenangan, materi permohonan dan lain-lain. Namun yang terjadi sikap majelis hakim  justru mendelay atau menunda membawa persoalan itu akan di nilai pada putusan akhir. Dari sisi itu nampak ada nafas kebersatuan yang ingin diwujudkn MK dalam perkara ini.

Dalam persidangan sulit untuk dibantah bahwa terjadi mungkin memang adanya kecurangan, seperti kesaksian Nurlatifa, saksi pemohon yang merekam anggota KPPS membantu pemilih, lalu jam 11 malam hari dipanggil KPPS, RT, aparat desa, petugas partai lalu mendapatkan intimidasi karena merekam peristiwa petugas TPS sehingga menyebabkan dirinya dilempar ke tps lain oleh tokoh agama, RT karena diduga tidak mendengar untuk memilih A atau B, dan saat pemilih ulang tidak diberi panggilan lagi.

Selanjutnya saksi Beti kristiani tanggal 18 april 2019 di Kabupaten Boyolali melihat amplop yang bertanda tangan dokumen pemilu berhologram menggunung hingga 4 karung lebih di halaman kantor kecamatan juangi, namun jika hal ini ketika dibawah ke putusan untuk mendiskualifikasi paslon apakah terefresentasi atau tidak sehingga opsi untuk mengabulkan seluruhnya juga akan menjadi pertimbangan.

Demikian pula opsi  boleh tidaknya menguji pelanggaran TSM yang sudah dinormakan dalam UU Pemilu 7/2017 menjadi opsi lain sehingga MK punya peluang lebih leluasa. Saksi-saksi yang dihadirkan tidak signifikan sehingga ada kerumitan tersendiri dalam membuktikan dalil adanya dampak kerugian terhadap perolehan suara 02. Maka nantinya hakim MK menilai semua itu dan dituangkan dalam pertimbangan putusan.

Termasuk kesaksian Agus Maksum saksi Pemohon dalam keterangan yang terungkap dipersidangan mengatakan ada kurang lebih 17,5 jt data pemilih yang bermasalah dan 1 juta lebih ktp palsu dan dugaan data ganda di 4 provinsi sebanyak 1604 sampel akan dilihat keterkaitan apakah 17,5 jt yang dianggap saksi A membuktikan adanya pelanggaran terhadap hukum. akan diuji oleh mahkamah signifikansinya.

3 Hal menentukan Putusan MK

Dari berbagai hal yang terungkap dalam proses persidangan di MK dapat kita lihat 3 pertanyaan kemungkinan yang dapat menentukan opsi putusan MK. Pertama apakah MK mau menguji pokok perkara soal materi tambahan 02 atau tidak dan selanjutnya apakah akan diterima MK dan mau mengujinya, ketika menguji perbaikan apakah MK mau menguji itu ditengah eksepsi 01 bahwa itu merupakan ranah KPU ada di Bawaslu atau PTUN. jika mayoritas hakim berpaham positifistik  maka kemungkinan hakim tidak akan mengujinya sehingga soal pelanggaran TSM termasuk soal syarat pencalonan KH.Ma’ruf Amin ((KMA) dan keberadaannya sebagai komisaris pengawas sejumlah bank tidak akan diuji MK.

Kalau majelis hakim lebih beraliran responsi-progresif maka hal tersebut  sangat mungkin untuk diuji, sebab dalam berbagai kasus dipilkada pengadilan dalam putusan di PTUN, bakal calon menjadi calon lolos di PTUN tidak pantas jadi calon dan dikuatkan di MA.  dalam RPH juga merupakan bagian dari menguji dan juga telah melalui tahapam pengujian dalam permohonon.

Kedua, apakah KMA prosedur, bersyarat atau tidak, jika KMA diputuskan  tidak  memenuhi syarat maka pemilu bisa saja di ulang, seperti dalam perkara Bengkulu Selatan MK medeskualifikasi pemenang Pilkada karena tidak memenuhi syarat, salah satu tidak memenuhi syarat sehingga pilkada ulang.

Ketiga, apakah MK mengatakan KMA memenuhi syarat karena anak BUMN bukanlah BUMN jika ini yang diputuskan MK maka implikasinya akan besar dan akan memhebohkan sebab banyak org yang dipenjara, ditangkap karena posisnya waktu itu menjadi pengurus atau pejabat  anak BUMN dan ini juga telah ada yudisial reviunya di MK dan MA tentang itu.

Jika MK memutuskan tidak adminisratifnya pencalonan KMA dan mendiskualifikasi dan karena itu MK  memerintahkan pemilu ulang paling lambat tahun 2021 maka akan sesuai pandangan Roscoe Pound putusan hukum harus berkarakter fungsi hukum sosial engginering, sebab Presiden Jokowi masih memiliki waktu untuk bekerja dan menyelesaikan proram-programnya dan dengan harapan MK punya cukup waktu juga untuk menguji UU Pemilu soal batas presidensial threshold, sehingga semua partai bisa mencalonkan presiden dan wakil presiden ulang.

Seandainya kuasa hukum 01 juga mampu membuktikan kecurangan Prabowo-Sandi sehinga dua duanya didiakualifikasi, maka akan terjadi Reformatio in peius atau diktum putusan yang justru tidak menguntungkan pemohon. Bisa saja ini menjadi solusi alternatif untuk me lahir  kepemimpinan alternatif.

Namun, patut disadari juga bahwa memang  ada kelemahan dalam PHPU bahwa ada problem tersendiri yang dialami para pihak termasuk MK dalam  mengadilli secara peer sebab keterbatasan waktu dan saksi, dalam waktu yang singkat 5 hari apakah mungkin dapat membuktikan kecurangan TSM misalnya, termasuk membuktikan adanya selisih suara pasangan calon. Sehingga suatu hal yang mustahil waktu dan saksi yang terbatas berbagai kecurangan dan pelanggaran bisa diuji di pengafilan.

Padahal sistem peradilan di MK merupakan persidangan ketatanegaraan dimana memiliki kekhususan dibandingkan sistem peradilan umum seperti dalam perkara pidana dan perdata, artinya sistem pembuktian atau dalil dalil yang  diajukan pemohon yakni paslon 02 dan dari termohon yaitu KPU dan pihak terkait (paslon 02 dan Bawaslu) hakim dalam menguji bersandar pada prinsip-prinsip dan norma-norma yang diatur dalam konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) secara keseluruhan. Artinya  dalam proses pemeriksaan alat bukti hingga putusan MK konstitusilah yang merupakan dasar hukum utama. Sehingga seharusnya proses peradilannya lebih leluasa dan tidak dibatasi agar lahir keadilan substantif.

Sebab dasar hukum yang digunakan MK dalam proses pembuktian oleh Mahkamah adalah menegakkan hukum, keadilan dan penegakan konstitusi atau supremasi konstitusi, hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 45 UU MK (24/2003) bahwa Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesuai alat bukti dan keyakinan hakim. Oleh sebab itu UU pemilu tidaklah mengikat sepenuhnya bagi MK dalam memutuskan perkara PHPU, termasuk pandangan penulis seputar perdebatan tentang apakah  PHPU hanya menyangkut perselisihan hasil pemilu pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan masif), sehingga MK dalam proses pembuktian dalam mencari kebenaran materil tidak harus membuktikan terpenuhi tidaknya syarat TSM. Apalagi jika melihat lebih dalam UU MK dan PMK 4/2018 tidak memgtur soal TSM

Sehingga boleh-boleh saja mahkamah akan menguji apakah ada relasi organ-organ kekuasaan dengan capres tertentu yang menunjukkan pada penyalahgunaan kekuasaan yang secara nyata menguntungkan paslon tertentu, seperrti misalnya apakah ada pelibatan menteri, bumn, tni, polri hingga kepala daerah hingga camat dan kepala desa. Kementerian mengundang kepala desa untuk tujuan tertentu  bumn melakukan kegiatan dalam masa kampanye dan lain-lain sehingga hal tersebut menjadi pertimbangan permohonan diterima.

Sehinga pada prinsipnya hakim bebas dalam menggunakan alat bukti mana yg menurunya memiliki kekuatan pembuktian yang kuat untuk memperkuat argumentasi atau pendapat hukum (legal opinion) pada saat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) karena berdasarkan ketentuan Pasal 50 Peraturan MK No.4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden  disebutkan pengambilan putusan mahkamah dilakukan dalam RPH setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan cukup selanjutnya pengambilan putusan mahkamah dilakukan secara musyawarah untuk mufakat setelah mendengarkan pendapat hukum para hakim. Sehingga posisi hakim memiliki hak yang sama dalam menilai dan memilih bukti-bukti yang menurutnya akan mendukung pendapat hukumnya pada saat RPH.

Kita tunggu saja bagaimana putusan hakim Mahkama Konstitusi 27 Juli 2019 apakah putusan ini benar-benar menjadi solusi membawa visi pemersatu bangsa dan memberikan keadilan substantif tidak hanya kepada para pihak tetapi yang tidak kalah penting adalah untuk seluruh rakyat Indonesia dan masa depan bangsa ini. Semoga saja.***

Penulis : Dr. Nasaruddin Umar, Dosen Hukum Tata Negara IAIN Ambon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *