Bagaimana Jepang Bersahabat Dengan Gempa, Anak-Anak Bisa Jadi Teladan

Kabar Nasional Opini dan Artikel

KABARTERKINI.NEWSGempa bumi berkekuatan 7 skala richter melanda Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu (5/8/2018) pukul 18.46 WIB. Sampai Senin (6/8) petang, dilansir dari Antara jumlah korban jiwa mencapai 98 orang, 238 luka-luka, ribuan rumah rusak, dan puluhan ribu orang mengungsi.

Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa gempa terjadi akibat aktivitas Sesar Naik Bujur Belakang Flores (Flores Back Arc Thrust) atau yang kerap secara singkat disebut Sesar Flores atau Patahan Flores.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa banyak dari warga Lombok yang belum memahami status waspada tsunami yang dikeluarkan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Banyak pula yang mengungsi hanya di depan rumah masing-masing. Kebiasaan ini jelas berbahaya karena pengungsi masih belum berada di zona aman. Sudah saatnya Indonesia secara serius memikirkan masalah pendidikan dan pengembangan teknologi mitigasi bencana dan pelatihan menghadapi gempa.

Untuk itu, tak ada salahnya Indonesia kembali berkaca pada Jepang, negeri sobat gempa. Indonesia dan Jepang sama-sama terletak di daerah merah. Keduanya berdiri di zona Cincin Api Pasifik, yang tak lain adalah lokasi dari 90 persen gempa di dunia.

Menurut United States Geological Survey (USGS), Indonesia yang berada di zona seismik yang sangat aktif adalah negara dengan frekuensi gempa bumi terbanyak di dunia.

Indonesia hanya kalah dengan Jepang jika perbandingannya adalah luas daratan yang kerap diguncang gempa. Karena wilayah Indonesia yang besar, maka tidak semua gempa berdampak langsung atau bisa dirasakan di daratan. Sekitar 1.500 gempa menghantam negeri sakura tiap tahunnya.

Berada di sepanjang zona Cincin Api Pasifik membuat tanah Jepang tidak stabil. Bentangan Cincin Api Jepang adalah tempat pertemuan empat lempeng yang saling desak, yaitu Amerika Utara, Pasifik, Eurasia dan Filipina. Tremor kecil terjadi hampir setiap hari.

Dimulai dari Kobe

Salah satu gempa bumi terburuk yang dialami Jepang pada abad ke-20 terjadi pada 17 Januari 1995. Saat itu sekitar pukul 5.45 pagi, gempa bumi berkekuatan 6,9 skala richter mengguncang daerah bagian selatan Prefektur Hyōgo selama 20 detik.

Kobe adalah kota besar berpenduduk padat yang paling dekat dengan pusat gempa. Akibatnya, dari sekitar 4.600 dari 6.434 korban jiwa berasal dari Kobe. Sadar betul akan dampak destruktif dari gempa bumi, Jepang segera melakukan evaluasi besar-besaran.

Para peneliti mengungkap bahwa gempa besar pada 1995 itu disebabkan oleh pergerakan lempeng bumi.

Untuk urusan ini, sulit rasanya membayangkan ada sebuah teknologi yang mampu menghentikan aktivitas lempeng bumi yang terus aktif bergerak. Namun, teknologi masih bisa dimaksimalkan untuk melakukan fungsi peringatan dini sehingga risiko bencana dapat dikurangi.

Dilansir dari The Telegraph, generasi anak-anak Jepang pasca-gempa Kobe 1995 akrab dengan latihan mitigasi bencana gempa bumi. Ketika alarm peringatan berbunyi, anak-anak di sekolah mulai mencari tempat berlindung di kolong meja guna melindungi diri dari reruntuhan barang dan material bangunan. Latihan itu dilakukan tiap bulan.

Jika berada di luar ruangan, mereka diajarkan untuk segera lari ke tempat yang terbuka agar terhindar dari reruntuhan puing-puing bangunan dan fasilitas kota lainnya. Pihak Pemadam Kebakaran Jepang juga punya alat simulasi gempa.

Tujuannya adalah membiasakan anak-anak sekolah merasakan sensasi gempa sehingga lebih peka mengambil langkah-langkah penyelamatan diri.

Ada pula aturan yang mewajibkan sekolah dengan dua lantai atau lebih dilengkapi jalur evakuasi yang dapat dipakai anak-anak untuk menuju ke tempat aman.

Sekolah juga bisa menjadi penampungan dadakan ketika rumah para siswa rusak akibat gempa.

Program mitigasi gempa bumi di Jepang ini membuahkan ketenangan luar biasa di kalangan anak-anak hingga orang dewasa tiap kali bumi mulai bergetar. Sadar hidup di kepulauan rawan gempa, perusahaan dan ilmuwan di Jepang melahirkan berbagai inovasi untuk tetap bisa bersahabat dengan gempa bumi.

Menurut regulasi yang berlaku, perusahaan konstruksi di Jepang harus memenuhi standar bangunan tahan gempa.

Lagi-lagi yang jadi rujukan adalah gempa Kobe 1995. Dikutip dari Japan Times, salah satu struktur tahan gempa di Jepang adalah bangunan kuil-kuil tradisional yang kemudian menginspirasi para arsitek untuk mengembangkan teknik bernama “Goju-no-to”.

Kuil-kuil tradisional Jepang memiliki pilar pusat tebal yang tidak terhubung langsung ke lantai sehingga pilar dan lantai tidak bergetar ke arah yang sama ketika gempa bumi menggoyang.

Yang terjadi, getaran di setiap bagian saling mengimbangi. Ada juga struktur beton bertulang yang mampu menahan gempa meski tidak mengurangi resiko getaran.

Sistem isolasi seismik, demikian struktur ini disebut, memanfaatkan minyak, karet, dan zat-zat lain yang tertanam di antara struktur bangunan dan tanah. Bantalan yang tercipta dari struktur yang dipakai oleh 7.600 konstruksi di Jepang ini menjadikan bangunan tahan gempa.

Tak hanya aspek fisik bangunan yang diperhatikan.  Semua kantor dan banyak rumah pribadi di Jepang dilengkapi dengan perangkat darurat gempa yang meliputi ransum kering, air minum, hingga perlengkapan medis dasar.

Masih menurut Japan Times, teknologi robot pun dikembangkan untuk mengumpulkan data setelah bencana dan mencari korban gempa bumi di reruntuhan. Tantangannya, harus ada robot di tiap lokasi gempa bumi hebat.

Meneladani Anak-anak Jepang

Kata “tsunami” (yang artinya “gelombang di pelabuhan”) juga berasal dari Jepang yang sudah kenyang dihantam gelombang pasang air laut akibat gempa bumi. Pada 1707, misalnya, tsunami menyapu pulau Shikoku yang menewaskan ribuan orang.

Dilansir dari BBC, pada abad ke-15 gelombang air laut raksasa menghantam Kamakura, kota di selatan Tokyo. Inilah catatan paling awal mengenai tsunami di Jepang.  Mitigasi tsunami sama terstrukturnya dengan mitigasi gempa bumi.

Di Jepang, anak-anak sekolah diajari cara mengorganisir diri ketika sinyal peringatan tsunami menyala. Siswa yang lebih tua juga membantu yang lebih muda ketika menuju daerah yang lebih tinggi untuk menghindari gelombang.

Dilansir dari Japan Times, Toshitaka Katada, profesor teknik sipil di Gunma University yang mengawasi program pendidikan bencana di Kamakura, mengatakan bahwa latihan berulang-ulang saat tidak ada bencana telah sukses membuat siswa bertindak cepat dan tertib dalam keadaan darurat.

Tak lupa, anak-anak diajarkan agar tidak bergantung pada lokasi yang dipetakan semata, mengingat bencana bisa saja datang dari luar lokasi yang telah diprediksi.

Dalam pendidikan mitigasi bencana, nilai saling tolong menolong pun diajarkan. Anak-anak diprioritaskan selama proses evakuasi, sehingga mereka bisa mentransfer pengetahuan kepada orang-orang di sekitarnya jika bencana kembali terjadi kelak. Menurut Katada, kebiasaan ini akhirnya menular dan berhasil menyelamatkan banyak nyawa.

Misalnya ketika tsunami besar melanda Kamaishi di Prefektur Iwate Jepang pada 11 Maret 2011. Hampir 3.000 siswa sekolah dasar dan menengah pertama selamat berkat pendidikan mitigasi bencana.

Bahkan dari hampir 1.000 korban jiwa di Kamaishi, hanya lima anak-anak usia sekolah saja yang meninggal dunia. Itu pun karena mereka berada di tempat yang jauh dari sekolah dan tak terjangkau regu penyelamat.

Beberapa wilayah pesisir Jepang dilengkapi tempat perlindungan tsunami, sementara beberapa lainnya membangun pintu air untuk mengontrol aliran air dari tsunami.

Sejak 1952, Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengoperasikan Layanan Peringatan Tsunami, sebuah sistem yang akan mengirimkan peringatan tsunami dalam tiga menit pertama setelah gempa.

Berdasarkan situs resminya, JMA memiliki 200 seismograf dan 600 alat meter intensitas seismik, ditambah 3.600 alat meter intensitas seismik yang dikelola pemerintah lokal bersama Institut Riset Nasional untuk Ilmu Bumi dan Pencegahan Bencana (NIED).

Data dikumpulkan dari perangkat-perangkat tersebut kemudian dikelola oleh Sistem Pengamatan Fenomena Gempa Bumi (EPOS) yang berpusat di Tokyo. 

Sistem tersebut juga terintegrasi dengan stasiun televisi nasional NHK. Data mengenai kekuatan gempa segera muncul di siaran televisi lengkap beserta informasi potensi tsunami. Di sebagian kota, pengeras suara digunakan untuk menyiarkan informasi darurat kepada penduduk.

Di beberapa daerah pedesaan, pemerintah mendistribusikan radio ke khalayak agar mereka bisa menerima perintah evakuasi. Di Jepang, semua berawal dari Kobe.

Di Indonesia, bukan mustahil jika persahabatan dengan gempa kelak bermula dari Lombok.

(tirto.id – ton/win) Penulis: Tony Firman Editor: Windu Jusuf  || Agustus 2018

Artikel aslinya berjudul “Bagaimana Jepang Bersahabat dengan Gempa Bumi dan Tsunami?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *